REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang Badar merupakan salah satu ajang jihad yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Pertempuran ini pecah pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah, bertepatan dengan 13 Maret 624 Masehi.
Dengan jumlah pasukan yang jauh lebih kecil, yakni 313 personil, kaum Muslimin unggul melawan kaum musyrik yang berjumlah 1.000 orang. Terkait itu, pakar ilmu hadist KH Ahmad Luthfi Fathullah menuturkan, Perang Badar merupakan salah satu bukti kemahakuasaan Allah SWT.
Sang Pencipta menurunkan para malaikat-Nya sebagai pasukan tambahan dalam menolong kaum Muslim di Lembah Badar saat itu. Ada banyak riwayat yang menyebutkan, banyak kekuatan dan pasukan yang datang tiba-tiba dan kemudian menghilang begitu prajurit musyrikin kocar-kacir kembali ke Makkah.
"Semangat perang Badar ini menunjukkan, bahwa kelompok perang yang kecil melawan yang besar, tapi bisa menang berkat pertolongan Allah SWT," kata Kiai Ahmad Luthfi saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/3).
Selain itu, Perang Badar juga dapat dikenang sebagai bentuk ujian terhadap keimanan kolektif umat Islam. Ujian dapat berupa macam-macam. Mulai dari yang samar-samar hingga harfiah, yakni serangan dari musuh.
Sebelum Perang Badar dimulai, Nabi Muhammad SAW sempat bermunajat kepada Allah SWT. Beliau memohon kepada-Nya agar memenangkan kaum Muslimin atas kaum musyrikin.
Selain itu, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin juga menyusun siasat. Mereka saling bermusyawarah hingga disepakati poin-poin strategi, terutama terkait sumber pasokan makanan, air, dan posisi pasukan.
Atas saran dari sahabat, Rasulullah SAW kemudian mengikuti strategi menutup sumber air di beberapa titik di sekitar Lembah Badar. Tujuannya agar kaum musyrikin Quraisy tidak mudah mendapatkan sumber air, sedangkan kaum Muslimin memeroleh akses air secara lancar.
Pecahnya Perang Badar tidak berarti ada kehendak menyerang dari pihak Muslimin. Pada faktanya, saat itu kaum musyrikin Makkah merampas banyak harta dan rumah kaum Muslimin yang hijrah ke Yastrib (Madinah).
Maka ketika kafilah-kafilah dari Makkah berangkat ke Syam (Suriah), informasi itu tiba ke Rasulullah SAW. Nabi SAW dan kaum Muhajirin lantas berupaya menghadang kafilah yang sejatinya membawa barang-barang kepunyaan orang Islam.
Dapatlah dipetik hikmah, jelas Kiai Ahmad Luthfi, bahwa Islam bukanlah agama yang ofensif. Agama ini semata-mata memiliki prinsip mempertahankan diri atau defensif.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak boleh mundur dalam sebuah perjuangan. Ketika diganggu, maka kaum Muslimin mesti menegaskan sikap.
Kemenangan dalam Perang Badar membawa semangat kepercayaan diri terhadap umat Islam. Mereka juga meyakini sepenuh hati, kemenangan itu semata-mata karena pertolongan dan anugerah dari Allah Ta'ala.
"Karena itu, jangan ragu untuk berjuang dalam kebenaran dan bukan kemungkaran. Perjuangan agama itu yang hakiki," lanjut dia.