REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus menanggapi angka kecelakaan yang sebagian besar didominasi generasi milenial di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Menurut dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bersama kepolisian harus menerapkan tertib berlalu lintas sebagai kurikulum pendidikan formal.
"Kurikulum berlalu lintas itu tidak diwajibkan dari sejak dini. Kurikulum berlalu lintas harus masuk pendidikan formal. Karena kalau tidak seperti itu kewajibannya kita untuk patuh terhadap tertib lalu lintas," ujar Alfred saat dihubungi Republika, Rabu (13/3).
Ia menjelaskan, tertib berlalu lintas sejatinya harus dipelajari sejak dini. Sebab, berkaitan dengan karakter seseorang yang harus ditanamkan saat anak-anak. Untuk itu, tertib berlalu lintas perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal.
Alfred menilai, Pemprov DKI bisa menerapkan kurikulum berlalu lintas. Tujuannya, hanya satu, untuk mengurangi angka kecelakaan berlalu lintas dari sumbernya. Menurutnya, nyawa seseorang lebih harus diutamakan daripada hal lainnya.
"Tidak ada pembenahan. Yang kita benahi hanya dari hilirnya. Tetapi, hulunya membangun karakter masyarakat milenial itu dari semenjak hulunya masih kurang, bahkan itu hanya dijadikan sebagai sukarela," kata dia.
Ia menuturkan, saat ini, tertib lalu lintas hanya sebatas penyuluhan yang sifatnya seperti sukarela dari kepolisian. Sementara, pendidikan moral berlalu lintas ini, menurut Alfred, sangat diperlukan agar ketika anak beranjak dewasa sudah memahami tata tertib lalu lintas.
Ia menggarisbawahi, pendidikan tertib berlalu lintas tak hanya kepada pengendara kendaraan bermotor. Tapi, setiap insan yang menjadi pejalan kaki juga termasuk orang-orang yang berlalu lintas.
Alfred mengungkapkan, masih banyak pula pejalan kaki yang tidak mematuhi aturan berlalu lintas. Padahal, dalam undang-undang tercantum hak dan kewajiban para pejalan kaki. "Pejalan kaki masih menyebrang sembarangan, tidak melewati zebra cross, misalnya," kata dia.
Ia menambahkan, salah satu faktor pendukung meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas terhadap generasi milenial adanya pembiaran atau pemakluman. Alfred mengatakan, banyak anak-anak sekolah yang belum cukup umur telah mengendarai kendaraan bermotor.
"Kita lihat anak-anak SD di jalan sudah bawa motor. Ini yang dimaksud pembiaran itu," katanya.
Terlebih lagi, Alfred melanjutkan, peran orang tua dalam hal ini juga perlu diperhatikan. Sebab, menurut dia, masih banyak orang tua yang tak segan mengizinkan anak-anaknya mengendarai kendaraan bermotor meski belum memenuhi persyaratan.
Sehingga, lanjut dia, perlu menanamkan budaya tertib berlalu lintas tersebut mencakup semua pihak. Menurut Alfred, pembentukan kurikulum tertib berlalu lintas ini sangat mendesak untuk diterapkan di sekolah-sekolah.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya mengungkapkan, angka kecelakaan lalu lintas dalam enam tahun terakhir meningkat menjadi 10 persen. Kini, angkanya sekitar 36.595 kecelakaan. Dari angka tersebut, korban dan pelaku kecelakaan sebagian besar merupakan generasi milenial dengan rentang usia 17 sampai 35 tahun. Generasi milenial yang menjadi korban kecelakaan mencapai 61 persen, sedangkan yang bertindak sebagai pelaku angkanya sekitar 41 persen.
“Dilihat dari statistiknya, usia millenial, baik itu korban maupun pelaku, angkanya tinggi,” kata Wakil Kepala Polda Metro Jaya yaitu Brigjen Pol, Wahyu Hadiningrat, Ahad (10/3) lalu.
Data yang sama menyebutkan, dari 2014 hingga 2018, generasi yang dominan menjadi korban kecelakaan lalu lintas adalah generasi milenial dengan angka 17.910 korban. Melihat fakta itu, Polda Metro Jaya menggelar Kampanye #SahabatDijalan–Millenial Road Safety bersama Women Cycling Community (WCC) Nusantara.
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai salah satu kampanye keselamatan lalu lintas karena banyaknya kecelakaan pesepeda maupun pelanggaran lalu lintas lainnya yang terjadi belakangan ini, khususnya terjadi di kalangan generasi milenial. Wahyu berharap, keselamatan lalu lintas ini nantinya menjadi bagian dari gaya hidup generasi milenial.