REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, pemerintah Indonesia akan tetap waspada meski neraca perdagangan pada Februari 2019 menunjukkan surplus. Sebab, kondisi positif yang tercapai berasal dari penurunan kedua aspek yakni impor dan ekspor. Sementara ekspor turun 11,3 persen, impor juga turun lebih dalam lagi.
Selain itu, Sri mengatakan, kita juga harus melihat apakah surplus ini hanya bersifat musiman. Sebab, biasanya, bulan Februari ataupun Maret pada tahun-tahun lalu juga mengalami kondisi surplus.
"Makanya, kita harus kaji lebih dalam lagi apakah hanya musiman atau lebih fundamental seperti dampak ekonomi dunia," tuturnya ketika ditemui di Serang, Banten, Jumat (14/3).
Sri menambahkan, penurunan impor tidak bisa disambut terlalu baik. Sebab, pemerintah harus melihat dampak dari kondisi tersebut terhadap industri yang membutuhkan produk-produk negara lain. Jangan sampai, mereka yang membutuhkan bahan baku dari produk impor justru mengalami kerugian besar.
Pemerintah juga akan mengkaji apakah penurunan impor tersebut dapat diganti atau substitusi dengan produk dalam negeri. Dengan begitu, seluruh kebutuhan bahan baku dan barang modal masih tetap dapat diakses oleh industri.
Jadi, Sri menekankan, pemerintah akan melihat statistiknya lebih dalam. Tapi, paling tidak, kondisi neraca dagang yang surplus ini memberikan sinyal positif mengenai kondisi Indonesia. "Setelah ini, kita masih memiliki pekerjaan rumah banyak yang harus kita lakukan," katanya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada Februari surplus 330 juta dolar AS. Kinerja ini lebih baik dibanding dengan kondisi pada Januari yang mencatat defisit hingga 1,16 miliar dolar AS.
Berdasarkan data yang dirilis BPS, nilai impor pada Februari tercatat sebesar 12,20 miliar dolar AS, sedangkan untuk ekspor tercatat sebesar 12,53 miliar dolar AS. Surplus itu disebabkan adanya penurunan impor yang tajam. Ekspor juga mengalami penurunan, meski lebih lambat.