REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Direktur Inkubator Bisnis SBM-ITB Dina Dellyana mengatakan ini merupakan strategi perang harga yang diterapkan salah satu perusahaan penyedia jasa berbasis aplikasi bisa mengarah pada praktek predatory pricing. Meskipun saat ini dirasakan menguntungkan konsumen, strategi obral tarif justru malah mengancam konsumen dan mitra pengendara di masa mendatang.
Dina mengatakan jika praktik predatory pricing berhasil memunculkan satu pemain dalam satu bisnis, maka pemerintah sekalipun akan kesulitan untuk mengendalikan harga. Di sisi lain, pemain tunggal dalam sebuah usaha akan dengan mudah memainkan tarif karena memegang penuh kendali atas konsumen.
“Kondisi ini akan berimbas pada konsumen. Publik yang tadinya terus dimanja dengan tarif murah, seketika akan dihadapkan dengan tarif tinggi, karena perusahaan penyedia jasa suatu saat juga harus mengembalikan investasi yang ia terima,” kata Dina dalam siaran persnya, Jumat (15/3).
Ia menururkan predatory pricing menjadi salah satu strategi dengan menekan harga produk serendah mungkin supaya dapat menyingkirkan pesaing dari pasar. Strategi ini juga biasa dipakai untuk mencegah pesaing baru muncul ke dalam arena usaha yang sama.
Dina, yang aktif di Divisi Pengembangan Startup Masyarakat Industri Kreatif dan Teknologi Informasi (Mikti) Indonesia itu menjelaskan, perang harga adalah metode untuk mengakuisisi konsumen yang paling mudah dan cepat bagi sebuah perusahaan untuk menguasai pasar. Apalagi dengan tipe konsumen yang ada di negara berkembang di Indonesia, cara itu dianggap paling efektif untuk menggaet konsumen.
Menurutnya perusahaan yang mengawali bisnis dengan mengobral diskon akan selamanya bergantung pada strategi itu. Sebab, sejak awal konsumen yang telah terkoneksi sudah terbiasa dengan cara yang disodorkan sejak perkenalan.
"Yang jadi persoalan, perusahaan akan kesulitan mendapat margin keuntungan jika dana yang digulirkan terus difokuskan pada teknik marketing obral diskon. Di satu sisi, biaya marketing harus ditekan demi meraih keuntungan, di sisi lain konsumen sudah terbiasa dengan harga yang lebih murah," tuturnya.
Ia menambahkan, sebetulnya ada cara lain untuk mengikat konsumen yakni dengan memberikan layanan inovatif yang belum pernah ditawarkan para pesaing. Perusahaan startup bisa membuat produk sebanyak-banyaknya dengan ragam variasi sehingga konsumen memiliki preferensi dalam memilih satu layanan.
Oleh karena itu, kata Dina, perusahaan digital tidak bisa terus menerus bergantung pada sisi promosi dan membakar anggaran dengan strategi perang harga. Sebab, siklus keberlangsungan industri digital cenderung pendek ketimbang industri lainnya. Maka, anggaran untuk riset dan pengembangan dalam upaya mencari keberlanjutan solusi merupakan hal mutlak.
Ia mengatakan Pemerintah harus mengontrol mengenai praktek perang harga. Karena kalau sudah single player pemerintah sudah tidak bisa mengontrol harga. Dalam ekosistem layanan yang sangat dibutuhkan publik, single player bisa menentukan harga suka-suka dia.
"Maka pemerintah harus campur tangan, memastikan bahwa strategi persaingan jangan sampai tidak sehat, jangan sampai impossible to catch up, jangan terjadi monopolistik,” ujarnya.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun dinilainya harus mulai aktif melihat perkembangan startup ini. Dengan persaingan yang terus berkembang, perlu pendalaman pada model bisnis di balik startup digital. Pengawasan ini dinilai penting terutama untuk memproteksi pasar dalam negeri. Pemerintah dan KPPU harus memastikan kondusifitas ekosistem usaha supaya pemain lokal lainnya juga tumbuh. Dengan begitu, rintisan startup lainnya tidak takut bersaing, meskipun di pasar negeri sendiri.
Selain berimbas kepada konsumen, strategi menggempur dengan diskon juga akan menjadi kerugian para mitra pengemudi jasa berbasis aplikasi, serta ekosistem UMKM yang tengah bangkit di dalamnya. Perang harga itu akan menekan para mitra pengemudi dari segi pendapatan.