REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Aksi terorisme yang menyasar Kota Christchurch, Selandia Baru, turut menyeret nama Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sebab, pelaku teror yang menewaskan 49 orang itu menyatakan dukungan terang-terangan terhadap Trump.
Pria bersenjata asal Australia bernama Brenton Tarrant itu mendeskripsikan Trump sebagai simbol identitas kulit putih yang terbarukan dan tujuan bersama. Semua tercantum dalam dokumen 74 halaman yang diunggah daring sebelum serangan berlangsung Jumat (15/3) siang.
Dengan kondisi itu, banyak pihak mendesak agar Trump menyatakan penolakan atas isu supremasi kulit putih. Salah satunya adalah presenter Inggris, Piers Morgan, yang pernah menyebut Presiden Trump sebagai kawannya.
"Ini saatnya, Pak Presiden @realDonaldTrump. Anda sekarang harus menentang semua supremasi kulit putih tanpa dalih. Mereka menggunakan namamu untuk membenarkan kebiadaban rasis," kata Morgan lewat akun @piersmorgan, Jumat (15/3), dikutip dari laman Daily Mail.
Dia juga mengungkit bahwa Trump pernah menunjukkan sikap keliru pada bentrokan di Charlottesville, Virginia, AS, 2017 silam. Saat itu, seorang laki-laki menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan demonstran yang menentang supremasi kulit putih.
Satu perempuan tewas dan banyak orang lainnya luka-luka pada insiden tersebut. Banyak orang mengkritik Trump karena saat itu sang presiden mengatakan kesalahan ada di kedua belah pihak. Morgan berharap kini Trump bertindak benar, sesuatu yang dinantikan dunia.
Setelah terjadinya insiden, Trump menuliskan cicitan di Twitter yang memuat ucapan simpati. Dia mengungkapkan, turut berduka dengan adanya "pembantaian mengerikan" di masjid. Atas nama Amerika Serikat, Trump menawarkan bantuan apa pun yang dibutuhkan Selandia Baru.
Akan tetapi, 20 menit kemudian Trump menuliskan status lain tentang orang-orang Yahudi yang diduga meninggalkan Partai Demokrat serta mengklaim adanya konspirasi yang dilakukan Barack Obama. Kurang dari dua jam kemudian, dia menuliskan deretan cicitan lain.
Pengamat media sosial AS Matt Gertz mengkritisi hal itu dan menyebut sang presiden kurang peka. Dia berpendapat bahwa pernyataan belasungkawa Trump atas insiden tertentu bisa berubah-ubah tergantung dari apakah tragedi bisa mendukung tujuan politiknya.