REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Pelaku penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru pekan lalu, Brenton Tarrant dilaporkan telah memecat pengacaranya, Richard Peters. Tarrant mengatakan ingin mewakili dirinya sendiri di pengadilan.
Dilaporkan The Washington Post, Senin (18/3), Peters mengatakan Tarrant tampaknya jernih dan tak mengalami ketidakstabilan mental. Namun, pemecatannya telah menimbulkan spekulasi atau dugaan Tarrant hendak menggunakan persidangannya untuk mengemukakan pandangan ekstremnya.
Tarrant ditangkap sekitar 30 menit setelah melakukan aksinya. Dia pun segera disidangkan pada Sabtu pekan lalu. Tarrant didakwa satu pasal pembunuhan. Namun dia diperkirakan akan menerima dakwaan lainnya pada persidangan berikutnya.
Sebanyak 50 korban telah meninggal pascainsiden penembakan di Christchurch dan puluhan lainnya masih menjalani perawatan di rumah sakit. Jumlah korban meninggal akibat aksi keji tersebut melebihi tingkat pembunuhan tahunan Selandia Baru pada 2017, tahun terakhir di mana data tersedia. Menurut data, terdapat 35 orang yang terbunuh di Selandia Baru pada 2017.
Oleh sebab itu, insiden Christchurch menampar Pemerintah Selandia Baru, termasuk para warganya. Selama ini, Selandia Baru dianggap sebagai salah satu negara yang aman dari serangan teroris. Menurut Global Peace Index (GPI) 2018, negara ini bahkan menduduki peringkat dua negara teraman di dunia.
Pasca penembakan Christchurch, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyerukan perubahan undang-undang kepemilikan senjata. "Kita tidak dapat dihalangi dari pekerjaan yang perlu kita lakukan pada undang-undang senjata kita di Selandia Baru. Mereka perlu diubah," ujarnya.
Warga Selandia Baru memang harus memiliki izin atau lisensi untuk kepemilikan senjata api. Dari 43.509 pengajuan izin pada 2017, 99,6 persen di antaranya disetujui. Dilansir di ABC, satu dari empat warga Selandia Baru memiliki senjata.