REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina mengatakan sejak 2014, hampir 13 ribu orang yang dianggap sebagai ‘teroris’ di Xinjiang telah ditangkap. Pengumuman ini dikeluarkan pada Senin (18/3).
Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu nampaknya terus berusaha membuat kebijakan yang dituang dalam apa yang disebut ‘buku putih’, yang membela langkah-langkah deradikalisasi kontroversial. Cina menghadapi kritik keras internasional, terutama PBB, karena berbagai tindakan yang kotroversial terhadap warga Xiijiang, khususnya Muslim Uighur yang menjadi minoritas di wilayah itu.
Beberapa waktu lalu, Cina mendirikan pusat penahanan yang menampung lebih dari satu juta warga Uighur dan Muslim lainnya. Menurut pemerintah negara Komunis tersebut, diperlukan tindakan untuk membendung ancaman militansi. Pemerintah mengatakan pusat penahanan atau pejara itu sebagai pusat pelatihan.
Dalam sebuah pernyataan, Pemerintah Cina mengatakan otoritas mengadopsi kebijakan yang ditujukan kepada keseimbangan antara belas kasih dan kekerasan. Sejak 2014, pihak berwenang Xinjiang disebut telah melumpuhkan 1.588 kekerasan dan kelompok teroris.
Kemudian terdapat 12.995 teroris yang ditahan. Lebih dari itu, 2.025 alat peledak diamankan dan setidaknya 30.645 orang dihukum atas keterlibatan mereka dalam 4.858 aktivitas keagamaan. Sebanyak 345.229 salinan materi agama juga disita.
“Cina dengan sengaja mendistorsi kebenaran,” ujar juru bicara Kongres Uighur Dunia, Dilxat Raxit dalam sebuah pernyataan dilansir Aljazirah, Selasa (19/3).
Raxit mengatakan kontra-terorisme yang dilakukan Pemerintah Cina sebenarnya hanyalah alasan politis untuk menekan warga Uighur. Tujuan sebenarnya dari apa yang disebut deradikalisasi adalah menghilangkan agama dan melaksanakan sinifikasi secara menyeluruh.
Xinjiang menjadi salah satu wilayah di Cina yang dihuni oleh etnis Uighur. Pada umumnya etnis tersebut merupakan Muslim.
Selama bertahun-tahun hidup dan menetap di provinsi selatan Cina, mereka disebut kerap menghadapi berbagai bentuk diskriminasi pemerintah. Banyak aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) telah mengecam tindakan tersebut dan meminta agar hak-hak warga Uighur dihormati, termasuk dalam menjalankan ibadah agama dan budaya mereka.