REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby menjelaskan alasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kekurangan sekira 55 ribu pengawas tempat pemungutan suara (PTPS). Ia mengatakan ada sejumlah kendala yang menyebabkan kekurangan PTPS di sejumlah wilayah.
"Salah satu penyebabnya adalah syarat umur yang 25 tahun, batasan umur ini menjadi kendala," ujar Alwan saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (19/3).
Selain itu, ia menilai Bawaslu kurang menyosialisasikan informasi perekrutan PTPS di sejumlah wilayah Indonesia. Akibatnya, membuat masyarakat kurang tertarik untuk menjadi PTPS pada pemilihan umum (Pemilu) 2019.
"Pola rekruitmen yang terlalu monoton, artinya minim sosialisasi, sehingga orang lebih memilih menjadi saksi partai yangdalam hal tugas dan upah jauh lebih besar dari upah PTPS," ujar Alwan.
Ia pun menyambut baik upaya Bawaslu untuk menutupi kekurangan sekira 55 ribu PTPS, seperti menggunakan guru honorer atau pengawas dari daerah lain. Namun, hal tersebut tentu akan memengaruhi kualitas PTPS.
"Sangat berpengaruh karena bukan wilayah asalnya, artinya dia tidak mengenal dengan baik wilayah atau TPS tersebut," ujar Alwan.
Sebelumnya, Bawaslu masih terus mengoptimalkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi masalah kekurangan PTPS di sejumlah wilayah. Salah satu ide yang Bawaslu miliki, yakni menggunakan guru honorer sebagai pengisi kekurangan PTPS tersebut.
Menurut Ketua Bawaslu Abhan, tidak ada larangan bagi guru honorer untuk terlibat dalam Pemilu sebagai PTPS selama mereka tidak terlibat di partai politik. Ia mengungkapkan, syarat utama seseorang menjadi PTPS adalah harus non-partisan dan harus independen serta imparsial.
"Kriteria usia ya sesuai dengan undang-undang (UU), 25 tahun itu. Jadi masih mengacu UU. Kecuali kalau ada Perppu. Tadi kan ada dinamika segala macem (dalam RDP)," ujarnya.