REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Qais bin Sa'ad berasal dari keluarga yang terhormat di Madinah, bahkan sejak sebelum hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW. Dia masuk Islam saat usianya masih anak-anak. Putra pemimpin Suku Khazraj itu juga dikenal sebagai pribadi yang cerdas.
Ada perbedaan ketika dia masih belum Muslim dan sesudah beriman. Mulanya, dia cenderung menggunakan kecerdasannya untuk menipu orang-orang. Barulah sejak dia beriman dan mendapatkan didikan islami, maka pribadinya berubah menjadi orang cerdas dan disayangi.
Kecerdasannya juga diperhatikan Rasulullah SAW. Itulah sebabnya dia kerap mendampingi baginda Nabi SAW. Salah seorang sahabat, Anas bin Malik pernah mengungkapkan, “Kedudukan Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah di sisi Nabi SAW tidak ubahnya seperti seorang ajudan.”
Adapun kebaikannya juga dikenang. Sebagai contoh, pada suatu hari Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah bersedia memberikan pinjaman kepada seorang kawannya yang sedang terlilit kesulitan. Beberapa lama berselang, kawannya ini mendapatkan kemudahan rezeki sehingga bisa membayar utangnya itu.
Namun, Qais dengan halus menolaknya, “Kami tidak hendak menerima kembali apa-apa yang telah diberikan,” katanya.
Selain sifat pemurah dan kecerdasannya, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah terkenal bermental juang yang tinggi. Sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, tidak ada satu pun medan jihad yang di dalamnya Qais absen.
Bila lisannya piawai dalam berdiplomasi, maka langkah kaki dan ayunan pedang Qais juga tak kenal ragu dalam menghantam musuh-musuh Allah. Dia selalu bersedia menerima setiap tugas dengan hati yang lapang.
Namun, sejarah mencatat namanya terutama dalam medan Pertempuran Shiffin, yang merupakan “perang saudara” pertama di antara sesama Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dalam peperangan ini, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah memihak kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang berkontra terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Awalnya, Qais sempat berupaya merancang upaya konspirasi untuk menjebak orang-orang pendukung Mu’awiyah. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat salah satu firman Allah SWT di dalam Alquran yang memperingatkan bahwa dampak tipu daya jahat akan berpulang ke pelakunya sendiri. Oleh karena itu, Qais pun mengurungkan niatnya. Kemudian, ia beristighfar kepada Alllah SWT.
“Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena kesalehan dan ketakwaan kita,” seru Qais kepada pasukannya.
Adapun keberpihakannya kepada kubu ‘Ali bin Abi Thalib bukanlah fanatisme buta. Sebab, sebelumnya Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah telah menyelidiki sendiri siapa yang sesungguhnya baginya meneguhkan kebenaran. Keberanian yang benar lahir dari pribadi yang jujur dan mendukung kebenaran secara tulus, bukan lantaran keuntungan materiil atau kekuasaan.