REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum pecah Pertempuran Shiffin, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah mendapatkan amanah sebagai gubernur Mesir. Ia diangkat oleh Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Namun, sejak lama Mu’awiyah mengincar perluasan kekuasaannya ke Mesir.
Sampailah ketika ‘Ali bin Abi Thalib memanggil pulang Qais dari Mesir. Selang beberapa waktu, akhirnya Qais sendiri menyatakan dukungan terbukanya kepada Khalifah ‘Ali.
Padahal, Mu’awiyah telah berupaya keras membujuk Qais agar menyeberang dari kubu ‘Ali. Sebab, antara lain, Qais tidak merasa Khalifah ‘Ali memecatnya dari jabatan gubernur di Mesir. Jabatan hanyalah amanah yang bersifat sementara, menurut dia. Di sini tampak bahwa Qais tidak berambisi pada kekuasaan pribadi, melainkan profesionalisme.
Qais bin Sa’ad mengalami masa yang sulit setelah Khalifah ‘Ali gugur. Setelah itu, putranya, Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, dibaiat menjadi pemimpin. Qais memandang cucu Rasulullah SAW itu sebagai sosok yang mampu memimpin umat. Akan tetapi, bahaya sudah di ambang mata. Pihak-pihak yang membenci Hasan sudah menggelorakan pelbagai fitnah sehingga menyulut konflik terbuka.
Bagaimanapun, Qais tetap teguh di pihak Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib. Qais lantas memimpin pasukan yang terdiri atas lima ribu prajurit. Dalam pada itu, Hasan meminta para pendukungnya untuk berhenti mengangkat senjata dan mulai berunding dengan kubu Mu’awiyah. Lantas, baiat dilangsungkan terhadap Mu’awiyah.
Di sinilah Qais mulai merenungkan lagi kepelikan konflik internal antarumat Islam pada masa itu. Dia tahu dan meyakini betul, Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib berada dalam pihak yang benar. Oleh karena itu, Qais berpidato di hadapan ribuan pasukannya.
“Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut terlebih dahulu! Tapi, jika kalian memilih perdamaian, maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu.”
Ternyata, mayoritas pasukannya memilih jalan perdamaian serta menghendaki keamanan dari Mu’awiyah yang baru saja dibaiat. Untuk itu, Qais menyepakatinya.
Beberapa tahun kemudian, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah menemui masa akhir kehidupannya. Ia wafat pada tahun 59 Hijriah di Madinah. Namanya akan selalu dikenang sebagai pribadi yang pemberani, jujur, dan penuh kedermawanan.