REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelibatan kaum perempuan untuk menjadi pelaku aksi bom bunuh diri masih saja terjadi. Terakhir pada pekan lalu di Sibolga, Sumatera Utara, seorang wanita bersama anaknya yang masih berusia balita melakukan upaya bom bunuh diri saat rumahnya digerebek aparat Densus 88/Anti Teror Polri. Tidak hanya persoalan kekerasan, selama ini kaum perempuan ternyata juga lebih aktif dan rentan menjadi penebar dan korban berita bohong (hoaks).
Melihat beberapa fonomena tersebut Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Prof Dr Siti Musdah Mulia meminta kaum kepada perempuan untuk bisa menjadi agen penebar perdamaian baik untuk diri sendiri maupun bagi lingkungan keluarga maupun masyarakat dan bangsa. Hal ini agar kaum perempuan terbentengi dari penyebaran hoaks maupun penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
“Kami mengajak kaum perempuan untuk menjadi bagian dari peace building. Kaum perempuan harus bisa menjadi aktor yang aktif untuk menyebarkan upaya upaya Damai. Upaya-upaya damai itu bisa dilakukan dalam banyak cara. Pertama, jangan pernah membiarkan kekerasan itu terjadi untuk alasan apapun. Kedua, Jangan pernah membiarkan sikap, perilaku intoleran sekecil apapun. Ketiga, jangan pernah membiarkan orang yang melanggar hukum untuk dibiarkan saja,” ujar Musdah Mulia, Selasa (19/3).
Wanita yang juga Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengajak kepada kaum perempuan untuk selalu siaga dan mau berbicara dalam segala hal serta jangan menganggap hal yang biasa dan sepele. Hal ini karena sedari sejak kecil di dalam diri kaum perempuan sejatinya sudah terlibat aktif dalam upaya upaya bagaimana menjaga agar supaya tidak ada ujaran kebencian, intoleran, ataupun ujaran yang mengandung unsur-unsur permusuhan atau SARA.
“Kaum perempuan atau ibu-ibu ini kita kuatkan bahwa sebagai seorang perempuan kita punya perasaan atau keprihatinan yang lebih dalam. Kita sebagai penjaga generasi manusia dalam kehidupan umat manusia, mari kita menjadi ibu-ibu yang lebih banyak dalam menyebarkan sifat-sifat feminim di dalam masyarakat. Dan ini bisa dilakukan di berbagai lingkungan yang mulai dari lingkungan yang kecil sampai kepada lingkungan yang besar,” kata wanita kelahiran Bone, 3 Maret 1958 ini.
Dikatakannya, kaum wanita yang ditakdirkan feminin itu memiliki sifat-sifat seperti kasih sayang, melindungi dan bahkan mau mengalah untuk terbangunnya perdamaian. Sehingga tidak harus menggunakan kekerasan untuk mencapai sesuatu.
“Jadi upaya-upaya penggunaan cara-cara feminisme yang dimiliki wanita atau cara-cara yang mengandung unsur-unsur lemah lembut dengan mengedepankan keselamatan bersama, itu menjadi kualitas feminin yang dibutuhkan di dalam menjaga masyarakat dari berbagai bahaya radikalisme,” ujarnya.