REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kecerdasan buatan (artificial intelligence) adalah perangkat lunak atau program komputer dengan mekanisme untuk belajar. Pengetahuan tersebut digunakan untuk mengambil keputusan dalam situasi baru, seperti yang dilakukan oleh manusia.
Bahkan ada kemungkinan revolusi 4.0 bisa memberikan pengaruh terhadap aktivitas kerja public relation (PR) karena unsur yang saling melengkapi. Hal tersebut, dibahas tuntas oleh pakar PR yang saat ini menjabat sebagai Head of Corporate Communications Bio Farma DR N Nurlaela Arief, dalam bukunya berjudul Public Relations In The Era of Artificial Intelligence.
Dalam buku karangannya, Nurlaela yang akrab disapa Lala menjelaskan transformasi PR dari mulai PR 1.0 sampai dengan PR 4.0. Pada era di mana artificial intelligence (AI) dan era big data hadir. Berdasarkan hasil penelitiannya, dampak dari fenomena ini belum terasa saat ini. Namun, kenyataannya saat ini sudah ada robot yang mampu membuat rilis dan menulis artikel.
Berbagai perangkat, kata dia, dapat dimanfaatkan oleh PR yang berfungsi untuk menyederhanakan ataupun mengotomatisasi tugas PR. Bahkan, Konsultan McKinsey memprediksi bahwa pada 2030, sepertiga dari pekerja di Amerika Serikat akan menjadi pengangguran karena otomatisasi. Sekitar delapan ratus juta orang secara global akan digantikan oleh teknologi big data dan AI.
Menurutnya, ia telah melakukan riset yang bekerja sama dengan organisasi profesi Perhumas Indonesia dan Forum Humas BUMN. Riset ini, bertujuan untuk mengetahui bagaimana teknologi big data dan AI merevolusi serta mengambil alih sebagian besar pekerjaan PR.
"Hasil riset menunjukan bahwa ada beberapa pekerjaan PR yang akan tergantikan oleh perkembangan teknologi big data dan AI," ujar Lala kepada Republika.
Menurut Lala, pekerjaan PR yang terancam hilang tersebut adalah antara kliping berita, social listening-media monitoring, media relationship & stakeholder relationship, otomatisasi konten dan penyebaran melalui media sosial, dan penyebaran rilis.
Berdasarkan hasil riset, kata Lala, terdapat dua pekerjaan yang kemungkinan masih menjadi domain manusia yaitu pekerjaan foto dan video, serta melakukan presentasi atau komunikasi tatap muka.
Pekerjaan PR, menurut Lala, sebagian besar memang akan tergantikan oleh perkembangan teknologi big data dan AI. Namun, unsur manusia masih dibutuhkan pada tataran pekerjaan PR yang lebih strategis, seperti menganalisis lebih lanjut hasil media monitoring; yang telah dikerjakan dengan machine learning; memberikan pertimbangan strategis pada manajemen setelah melihat data-data analisis hasil media monitoring, serta fungsi strategis lainnya.
Lala pun, mengungkapkan pentingnya AI dalam dunia Public Relations juga diungkapkan berbicara mengenai Era Public Relations dalam Artificial Intelligence berdasarkan riset di Indonesia. Pada April-November, tim riset dan para mitra riset mengumpulkan data menggunakan teknik survei online kuantitatif dan semi struktur interview.
Para respondennya, kata dia, adalah para praktisi PR level Vice President, Manager, Deputy Head, praktisi IT, Start Up IT dan Digital Company, serta forum AI. Total ada 202 responden.
"Dari penelitian tersebut saya membuat beberapa kesimpulan," katanya.
Kesimpulan pertama, kata dia, PR Baru pada fresh/entry level memiliki kemungkinan terbesar tergantikan posisinya oleh keberadaan AI. "Ini adalah tantangan untuk para fresh graduate yang baru saja bergabung di industri PR," katanya.
Kedua, kata dia, para PR profesional pun harus menemukan jalan baru untuk dapat memberikan nilai lebih kepada perusahaan dengan menggunakan platform baru dan membangun nilai-nilai baru. Jadi, tidak dapat murni dibuktikan bahwa manajemen atau pekerjaan kreatif akan terancam keberadaannya karena hadirnya AI.
"Panduan internal mengenai implikasi dari teknologi, big data dan AI sangat dibutuhkan," katanya.
Implementasi PR baru, kata dia, harus lebih secara masif disosialisasikan, pada aspek akedemik sudah seharusnya diajarkan materi yang disesuaikan dengan tren dan memiliki hubungan dengan indsutri yang sedang berkembang saat itu.
Lala menjelaskan, dari hasil penelitian ia pun menemukan bahwa pekerjaan PR yang berpotensi digantikan oleh AI pada peringkat pertama adalah media monitoring kemudian media analysis, masing-masing sekitar 45 persen. Kemudian media relations sekitar 37 persen dan distribusi rilis sekitar 33 persen.
"Saya pun memetakan kompetensi baru untuk PR agar tetap relevan dalam industri, yaitu: (1) analisis data, (2) influencer, (3) manajemen media sosial, dan (4) content creator," katanya.
Sebagai kesimpulan, kata Lala, PR adalah disiplin untuk mempertahankan reputasi yang terkait dengan kepercayaan. Karena, manusia membangun kepercayaan dengan manusia lainnya, bukan dengan mesin atau bot.
Selain itu, menurut Lala, kecerdasan buatan mungkin cepat, media sosial mungkin cepat, tetapi hubungan akan membutuhkan waktu namun akan berdampak hubungan lebih lama (long lasting). "Dan implementasi AI yang akan berdampak pada PR masih perlu disosialisasikan dalam aspek akademik untuk menyesuaikan bahan pengajaran dan membutuhkan lebih banyak dialog," katanya.