Kamis 21 Mar 2019 15:42 WIB

DPR Nilai UU Terorisme untuk Penyebar Hoaks Rawan

Hoaks tak dibahas dalam UU Terorisme.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Muhammad Hafil
 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi I (Pertahanan, Liar Negeri, Intelijen, Komunikasi dan Informatika) menilai, pernyataan Menkopolhukam Wiranto yang ingin menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk pelaku hoaks tidak tepat. Bila, hal itu diterapkan maka justru berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis menegaskan, sebaiknya penanggulangan hoaks tetap bertumpu pada UU yang telah dijalankan selama ini, misal UU ITE atau UU lain berdasarkan fakta hukum yang ditemukan penegak hukum. "Saya kira hakim jaksa mereka juga bukan tidak mengerti, tidak mampu, saya kira mereka akan menggunakan UU yang memang semestinya digunakan," kata dia, Kamis (21/3).

Baca Juga

Menurut dia, harus bisa dibedakan antara hoaks dengan pengungkapan pendapat. Bila sifatnya memang menyebar keresahan maka Kharis menilai UU ITE lebih bisa diterapkan. "Terus kalau kemudian dianggap teroris saya kira terlalu berlebihan," ujar dia.

Anggota Komisi I DPR RI Ahmad Muzani menuturkan, selama ini hoaks ditindak dengan undang-undang ITE. Wacana penggunaan UU lainnya memunculkan kesan ketkdakmampuan salam penanggulangan hoaks. "Jadi jangan merasa tidak mampu menanggulangi hoaks terus kemudian menggunakan undang-undang lain yang itu berpotensi kepada penyalahgunaan kekuasaan," kata Muzani, Kamis (21/3).

Muzani menyebut, UU ITE sudah dibahas mengatur lalu lintas pembicaraan melalui media sosial. Sedangkan, UU terorisme adalah undang-undang yang dimaksudkan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terorisme.

"Bagaimana mungkin undang-undang terorisme akan digunakan misalnya terhadap pencurian. pencurian ada kaitannya dengan terorisme," kata Ketua Fraksi Gerindra di DPR itu.

Muzani pun menegaskan, berdasarkan UU nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penegak hukum harus memperlakukan peraturan perundang-undangan yang khusus untuk pencegahan pemberantasan terorisme. Sedangkan hoaks tak dibahas dalam UU tersebut.

"Undang-undang yang dimaksud undang-undang terorisme adalah undang-undang yang pada saat kami menyusun bersama pemerintah dimaksudkan untuk menindak mencegah dan memberantas Terorisme," kata Muzani.

Sebelumnya, Wiranto menyebut hoaks merupakan bagian dari tindakan terorisme. Menurutnya, terorisme ada dua, yakni fisik dan nonfisik. "Hoaks ini meneror masyarakat. Terorisme itu ada yang fisik ada yang nonfisik. Tapi kan teror karena menimbulkan ketakutan," jelas Wiranto di Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (20/3).

Terorisme, sambung Wiranto, adalah suatu tindakan yang menimbulkan ketakutan di masyarakat. Jika masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), ia menilai, hal tersebut sudah masih ke dalam pengertian terorisme.

"Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme. Untuk itu maka kita gunakan UU Terorisme," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement