REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah kemarin (25/3) sudah meresmikan Moda Raya Terpadu (MRT) namun hingga akhir Maret 2019, operasionalnya masih gratis. Nantinya tiket MRT akan disubsidi sehingga menurut pengamat yang juga Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana, MRT harus mencari sumber pendapatan lainnya.
“Ini berarti MRT untuk bisa bertahan itu nggak bisa mengandalkan tiket penumpang saja,” kata Aditya kepada Republika.co.id, Senin (25/3).
Dia menjelaskan, MRT dapat mencari sumber pendapatan lain melalui iklan dan nama stasiunnya dapat dikomersilkan. Hal itu juga bisa dimaksimalkan dengan membuat pusat komersial baru.
“Yang penting mulai mensinergikan koridor bawah tanah ke pusat komersial ada penyewaan aset dan menambah pendapatan MRT,” tutur Aditya.
Aditya mengakui tak mudah membuat pusat komersial baru di bawah tanah setelah MRT beroperasi. Sebab, penyewa tenant akan melakukan investasi jika penumpang MRT sudah mulai ramai menggunakan moda transportasi baru tersebut.
Penumpang Pertama Pascaperesmian MRT. Penumpang Moda Raya Terpadu (MRT) berjubel di pintu masuk Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Ahad (24/3/2019).
Untuk itu, Aditya menyarankan MRT harus mensinergikan konektivitas dengan pusat-pusat komersial di sepanjang jalurnya. “Kalau MRT di Singapura itu kita lihat terintegrasi dengan baik ke mal, ke hotel, ke pusat perkantoran, ini (MRT Jakarta) belum sampai ke situ,” jelas Aditya.
Dia mengharapkan MRT nantinya bukan hanya mengangkut penumpang dari satu titik ke titik lainnya saja. Tetapi, lanjut Aditya, MRT dapat menggerakan perkeonomian dan bisnis di koridor yang dilewati MRT.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI mengusulkan tarif MRT Jakarta sebesar Rp 10 ribu dari tarif keekonomian sebesar Rp 31.659. Dengan begitu, angka subsidi untuk MRT sebesar Rp 21.659 per penumpang atau Rp 672,38 milliar untuk 2019.