REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Voxpol Center menggelar survei pada 26 Februari-8 Maret 2019 terkait pengaruh patron politik atau tokoh tertentu terhadap pilihan seseorang. Hasil survei menyatakan, kepala desa dan lurah memiliki pengaruh yang cukup signifikan.
"Tak bisa disepelekan lurah atau kepala desa ikut mempengaruhi pilihan pemilih sebesar 14,7 persen," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/3).
Bukan hanya lurah, Ketua RT/RW juga dianggap cukup berpengaruh dengan angka 12,3 persen. Lalu tokoh partai politik kepala daerah juga memengaruhi dasar pertimbangan pemilih sebesar 10,6 persen. Kemudian tokoh berpengaruh tokoh agama/tokoh masyarakat sebesar 15,2 persen
Survei menyatakan, pilihan otonom atau pilihan sendiri tanpa pengaruh memang masih menduduki posisi tertinggi dengan angka sebesar 20,5 persen. Pemilih juga cenderung akan terpengaruh oleh keluarga inti. Angkanya sebesar 17.8 persen. Sementara tidak tahu/tidak jawab angkanya masih sebesar 8.9 persen
Berkaca dari data tersebut, Pangi menilai, menjadi sangat rasional jika akhir-akhir ini banyak tokoh masyarakat atau tokoh berpengaruh baik formal maupun informal bahkan pejabat politik yang sengaja dikerahkan afau dimobilisasi untuk mendukung pasangan capres tertentu, terutama pasangan Jokowi-Amin.
"Jika dicermati situasi ini setidaknya memberikan gambaran bahwa faktor ketokohan dan figur Jokowi ternyata tidak lah cukup untuk mengamankan posisinya menjabat presiden untuk periode kedua," kata dia.
Menurut Pangi, Langkah politik ini diambil sebagai upaya menambal kekurangan dan kelemahan jangkauan pengaruh Jokowi-Amin yang tidak begitu signifikan di beberapa daerah. Tokoh berpengaruh di tingkat lokal menjadi andalan utama.
Pendekatan intensif dilakukan untuk merangkul tokoh-tokoh di daerah bahkan sampai pejabat politik. Gelombang deklarasi pun diarahkan untuk mendukung petahana secara terbuka dan terang-terangan.
"Hal ini pada dasarnya wajar-wajar saja dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan elektabilitas kandidat," ujarnya.
Namun, lanjut Pangi, menjadi sangat tidak wajar dan terkesan dipaksakan, dengan melibatkan “tokoh berpengaruh” yang cenderung melanggar fatsun politik dan mengabaikan etika serta bahkan menggunakan fasilitas negara.
Langkah politik, lanjut Pangi, bisa dianggap tidak adil dan berpotensi sebagai pelanggaran pemilu. Melibatkan pejabat daerah dengan menggunakan anggaran negara yang melekat di dalamnya adalah pelanggaran serius yang sangat tidak pantas untuk dilakukan.
Pangi menambahkan, mobilisasi dukungan semacam ini semakin menguatkan indikasi bahwa pejawat ingin memanfaatkan segala peluang untuk mendongkrak elektabilitasnya yang stagnan bahkan cenderung turun beberapa bulan terahir.