REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Moda Raya Terpadu (MRT) fase I rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia (HI) baru saja diresmikan kemarin, Ahad (24/3). Pengamat transportasi Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno mengatakan, MRT dibangun untuk mengalihkan para pengguna kendaraan pribadi ke transportasi umum.
"Untuk switching dari angkutan pribadi ke angkutan umum. Bagi yang sudah menggunakan bus Transjakarta tidak perlu beralih ke MRT, tidak ada gunanya jadinya," ujar Djoko dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, Senin (25/3).
Menurut dia, tujuan utama MRT Jakarta bukan justru untuk mengalihkan masyarakat yang sebelumnya sudah menggunakan kendaraan umum. Sebab, lanjut Djoko, jika hanya itu, kemacetan masih akan terjadi karena pengguna kendaraan pribadi belum beralih ke transportasi umum.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus mengupayakan agar menekan penggunaan kendaraan pribadi. "Apa tujuan dibangunnya MRT dan LRT? Untuk mengatasi kemacetan? Siapa yang bikin macet? Apakah pengguna angkutan umum seperti TJ? Atau pengguna kendaraan pribadi?," kata Djoko.
Sehingga, menurut dia, hal ini juga berkaitan dengam subsidi untuk tarif MRT itu sendiri. Ia menjelaskan, subsidinya itu bukan untuk membayar selisih tarif tapi untuk perpindahan dari angkutan pribadi ke angkutan umum.
Djoko mengatakan, Pemprov DKI perlu menganalisa persentase penggunaan angkutan pribadi di ibu kota. Sehingga target MRT Jakarta untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sebagai solusi mengatasi kemacetan bisa terwujud.
Menurut dia, Pemprov DKI bisa menggunakan konsep perencanaan bisnis (Business Plan). Mengupayakan semaksimal mungkin properti MRT Jakarta untuk menekan subsidi tetapi tarif MRT tetap bisa murah.
"Jika tidak ada pengupayaan properti, maka jangan harap juga tarifnya bisa murah. Subsidi itu dianggarkan, tapi pendapatan non core (properti) bisa menjadi solusi untuk meringankan," kata Djoko.