REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Ahmad Syafii Maarif mengatakan, intoleransi saat ini masih banyak terjadi di Indonesia. Bahkan di lingkungan sekolah seperti di pendidikan umum, juga sering ditemukan.
Menurutnya, intoleransi ini dapat menjadi virus yang akan terus berlanjut hingga ke jenjang perguruan tinggi. Yang mana hal ini dapat merusak kesatuan dan persatuan bangsa.
Kendati demikian, dia meyakini hal tersebut diatasi. Salah satunya dengan cara menguatkan pendidikan agama
Namun, menurut dia, pendidikan agama yang tidak hanya berorientasi pada pengetahuan atau kognitif, tapi juga berorientasi pada aspek afektif, etika, dan rasa.
"Afektif, etika, dan rasa, ini menjadi sangat penting. Sebab, selama ini (pendidikan agama) lebih ke otak untuk diisi, tapi hati dibiarkan telantar," kata Buya, sapaan akrab Maarif yang juga Mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Yogyakarta, Senin (25/3).
Dia menjelaskan, Indonesia memang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya. Hal ini merupakan kekayaan dan keunggulan yang dimiliki Indonesia dibanding negara lain.
Kadang, ada sebagian masyarakat yang tidak menerima perbedaan ini. Sehingga munculnya intoleransi, bahkan di lingkungan sekolah sekalipun.
Untuk itu, perlu penanaman dari pendidikan agama yang tidak berorientasi hanya kepada pengetahuan dalam menangkal intoleransi ini.
"Sehingga anak-anak kita mengerti Muslim itu orang yang lapang dada, toleran. Perbedaan bukan untuk memicu melainkan untuk menangkal radikalisme di sekolah," ujarnya.