Rabu 27 Mar 2019 18:19 WIB

Penyadaran Warga untuk Kelola Sampah Butuh Proses Panjang

Butuh pendekatan masyarakat untuk pengelolaan dan daur ulang sampah.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Sampah plastik. Ilustrasi
Foto: Huffpost
Sampah plastik. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Virly Yuriken dari Yayasan Misool Indonesia yang mendapatkan dana hibah Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mengatakan, penyadaran masyarakat terhadap pengelolaan dan daur ulang sampah harus melalui proses panjang. Yayasan Misool memulai bank sampah di Sorong, Papua Barat pada 2014.

Organisasi non-profit yang mendapatkan dana hibah sebesar 243.740 dolar AS itu mengawali bank sampah dari unit-unit kecil. Satu tahun kemudian mereka memperluasnya sampai satu Kabupaten Sorong.

Baca Juga

"Kasih tahu terus langsung berubah juga tidak bisa, jadi untuk unit-unit sudah bersama kami selama lima tahun juga lingkungannya masih ada yang kotor, masih ada misalnya buang sampah sembarangan," kata Virly, Rabu (27/3).

Karena itu, kata Virly, setiap bulan Yayasan Misool melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat. Mereka mengulang lagi materi tentang penyadaran pengelolaan dan daur ulang sampah. Tapi ada masyarakat yang sudah mengerti nilai sampah mengubah perilaku mereka.

"Sampahnya sudah tidak dibuang lagi, tapi dipilah, dan dari kami sendiri materi yang kami sosialisasikan, memang ada jenis-jenis sampah plastik yang tidak bisa dihindari penggunaannya, karena sulit sekali menihilkan plastik dari kehidupan," kata Virly.

Virly menambahkan masyarakat harus bisa membedakan mana plastik yang bisa didaur ulang dan mana yang tidak. Maka Yayasan Misool menghimbau ke masyarakat untuk menghindari penggunaan plastik yang tidak dapat didaur ulang. Virly mencontohkan seperti sampah plastik saset.

"Saset itu memang bisa dibuat kerajinan tapi kalau misalkan didaur ulang secara besar itu tidak ada nilainya," kata Virly.

Virly mengakui di awal sosialisasi bank sampah ini ada masyarakat yang menolak. Ada yang bertanya apakah bank sampah juga memakai bunga.

"Ya mereka mikirnya bank sampah seperti bank pada umumnya, kami bilang ini kami tidak ada biaya administrasi, tidak ada bunga, kami tidak fokus di uangnya tapi ke perubahan perilaku masyarakatnya," kata Virly.

Masih ada beberapa tantangan yang dihadapi Virly. Ada beberapa masyarakat yang bertanya kenapa harga sampahnya kecil. Virly juga harus menjelaskan proses pengirimannya yang sangat lama.

Virly mengatakan karena bank sampah ini berada di Papua maka proses pengiriman dilakukan selama dua minggu sebab pabrik daur ulangnya di Pulau Jawa. "Kapal untuk mengirim sampah tidak ada setiap hari," katanya.

Virly mengatakan dana hibah USAID akan digunakan untuk mensosialisasikan bank sampah Yayasan Misool dan edukasi masyarakat tentang sampah. Selain itu, menarik keterlibatan pemerintah daerah agar upaya pengentasan sampah plastik ini dapat dilakukan secara senergis.

Sejauh pemerintah Sorong membantu menyediakan lahan sekitar 500 meter persegi yang digunakan sebagai gudang. Yayasan Misool juga ingin memperluas cakupan nasabah bank sampah mereka.

"Kami baru saja melakukan pendekatan ke Waisai, agar kami dapat membantu penanganan sampah yang bisa didaur ulang di sana, terus ada beberapa daerah lain di Papua Barat yang meminta bantuan teknis kami dan berbagi keahilan supaya bisa jadi duplikat dan dijalankan di sana," kata Virly.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement