Kamis 28 Mar 2019 01:20 WIB

BI: Resesi AS Peluang Aliran Modal Asing Masuk ke Indonesia

Hal yang perlu dikhawatirkan adalah ancaman moderasi ekonomi Cina.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan paparan sebelum peluncuran buku Laporan Perekonomian Indonesia 2018 di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan paparan sebelum peluncuran buku Laporan Perekonomian Indonesia 2018 di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (27/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) disebut mengalami pra resisi. Ini ditandai dengan meningkatnya harga di pasar obligasi. Melihat gejolak eksternal tersebut, Bank Indonesia (BI) menilai resesi menjadi peluang masuknya aliran modal asing ke negara berkembang termasuk Indonesia. 

"Perlambatan ekonomi AS itu berpotensi resesi dan membuat suku bunga AS tidak naik lagi. Itu justru membantu Indonesia untuk membiayai defisit (defisit transaksi berjalan)," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara usai acara  ‘Peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2018’ di Gedung BI, Rabu (27/3).

Mirza menjelaskan melunaknya kebijakan suku bunga The Fed memicu penyempitan selisih imbal hasil obligasi pemerintah AS dan imbal hasil instrumen keuangan di negara berkembang. Hal yang mengkhawatirkan, kata Mirza, ancaman moderasi ekonomi Cina yang merupakan efek rambatan negatif ekonomi global. Sebab ekspor Indonesia banyak berorientasi ke pasar Cina. 

Menurut Mirza, jika permintaan dari Cina melambat, maka akan berdampak pada kinerja ekspor dan konsumsi swasta Indonesia yang akhirnya akan menekan pertumbuhan ekonomi. "Ekspor Indonesia lebih dari 25 persen komoditas pertambangan dan perkebunan ke Cina, harganya bisa menurun," ucapnya.

Kendati demikian, kata Mirza, sejauh ini perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina belum berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. BI memproyeksikan ekonomi China tahun ini akan tumbuh 6,3 persen lebih kecil dibanding 6,4 persen pada 2018. 

"Kalau ekonomi Cina tumbuh di bawah enam persen, akan ada skenario yang baru," ujar dia.

Sementara Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan kurva imbal hasil surat utang AS yang terbalik atau inverted yield curves menjadi salah satu indikator pra resesi di AS. “Saat ini ada kecenderungan sinyal resesi AS menguat dan menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar global,” ujarnya kepada Republika.co.id.

Menurut Bhima, dampaknya jika AS masuk resesi tentu cukup cepat ke sektor finansial Indonesia. Belajar dari krisis subprime mortgage 2008, transmisinya semakin cepat ke pasar modal dan perbankan. 

“Sistem keuangan kita kan makin terintegrasi dengan pasar global. Investor yang panik akan tarik modalnya dari Indonesia (panic sell off) dan memicu krisis likuiditas,” ungkapnya.

Sementara untuk sektor riil, lanjut Bhima, akan berdampak pada ekspor lantaran Resesi AS memicu pelemahan permintaan produk dari Indonesia misalnya alas kaki, pakaian jadi, makanan minuman, dan lain-lain. 

Sebagai catatan pasar ekspor ke AS porsinya lumayan besar yakni 11,5 persen dari total ekspor non migas per februari 2019. Secara tidak langsung seluruh negara lain didunia akan mengalami penurunan permintaan. 

“Defisit perdagangan Indonesia bisa memburuk sampai 2020. Ini bisa kemana mana imbasnya rupiah melemah lagi, CAD melebar dan investasi asing turun,” ucapnya.

Bhima mengungkapkan jika AS terjadi resesi lagi ini semacam armagedon ekonomi lebih parah dibanding krisis yang pernah ada dalam sejarah. “Kita harus bersiap yang terburuk. Ibarat sedia payung sebelum hujan, KSSK perlu memantau resiko ke sistem keuangan dan bantalan fiskal jg hrus disiapkan jika Indonesia terpapar krisis,” ungkapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement