Kamis 28 Mar 2019 16:34 WIB

Bagaimana Dinamika Eropa Memengaruhi Kesultanan Malaka?

Kesultanan Malaka menjadi target ambisius penjelajah Barat.

(ilustrasi) 'Konstruksi Kota Malaka' tahun 1604 oleh Manuel Godinho de Eredia
Foto: tangkapan layar wikipedia
(ilustrasi) 'Konstruksi Kota Malaka' tahun 1604 oleh Manuel Godinho de Eredia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sultan Mahmud Syah menjadi raja terakhir yang memerintah Malaka. Pengganti Sultan Alauddin Riayat Syah itu dapat dikatakan berhasil meneruskan ekspansi kerajaan ini hingga mencapai Kelantan, Ligor, dan Patani yang sebelumnya dikuasai Siam. Sebagai balasannya, kerajaan Buddha itu menyerang Malaka pada 1500 tetapi berujung pada kegagalan.

Kesultanan Malaka memiliki armada tempur yang kuat di seantero Asia Tenggara pada saat itu. Namun, ancaman yang lebih besar justru datang dari negeri yang jauh. Memasuki abad ke-16, perubahan geopolitik Asia Barat dan Eropa menimbulkan efek yang dahsyat kepada Asia Tenggara sebagai basis produksi rempah-rempah dunia. 

Baca Juga

Dinamika ini memang tidak lepas dari persoalan ekonomi. Selat Malaka merupakan jalur maritim yang sangat strategis dalam menghubungkan perdagangan rempah-rempah dari Maluku ke India, Arab, dan akhirnya Eropa. Di pasaran Benua Biru, komoditas tersebut selalu laku, meskipun harganya selangit.

Sebagai gambaran, pada masa itu ada istilah dari bahasa Belanda, peperduur, yang secara harfiah berarti ‘semahal lada.’ Ungkapan ini menandakan bahwa masyarakat Belanda dan Eropa umumnya memandang lada sama berharganya dengan emas.

Pada 1453, Konstantinopel (kini Istanbul) berhasil direbut Kesultanan Utsmaniyah. Imperium yang berpusat di Turki itu kemudian memblokir akses bagi pelaut-pelaut Eropa di Laut Tengah, Afrika Utara, dan Laut Merah. Keadaan ini jelas merugikan para pedagang Eropa yang terbiasa mendapatkan rempah-rempah dari pelabuhan-pelabuhan di pesisir Laut Tengah.

Oleh karena itu, para pebisnis Eropa terpaksa memutar otak demi menjaga pasokan rempah-rempah dari Asia. Maka, lahirlah gagasan untuk membeli komoditas itu langsung dari tempat asalnya. Sejak akhir abad ke-15, para pelaut Portugis merintis upaya untuk mencapai India dan Maluku. Mereka memanfaatkan pengetahuan navigasi yang dikembangkan para pelaut Muslim untuk dapat mengarungi samudra.

Usaha Portugis ini kemudian diikuti Spanyol, Belanda, dan Inggris. Lembar baru dalam sejarah dunia yakni Zaman Penjelajahan (The Age of Discovery) pun dimulai.

Pada 1503, Afonso de Albuquerque telah bertolak dari negerinya untuk melintasi Samudra Hindia.

Tujuh tahun berikutnya, laksamana Portugis ini dapat menaklukkan Goa, India. Daerah tersebut dijadikan basisnya untuk menyusun kekuatan lebih lanjut. Sebab, target terbesarnya adalah menguasai Pelabuhan Malaka, sebagaimana dimaklumkan Raja Manuel I. Pada 1509, penguasa Portugis itu mengutus seorang pengikutnya, Diogo Lopes de Sequeira, untuk menyelidiki keadaan masyarakat Malaka dan sejauh mana kekuatan raja Islam di sana.

Sultan Mahmud Syah sebenarnya mengetahui gelagat buruk Portugis sejak kejatuhan Goa. Hal ini antara lain berkat keterangan utusan Muslim Goa yang mengadu kepadanya. Sultan bahkan telah menyusun suatu rencana untuk membunuh de Sequeira, meskipun tidak sempat terwujud karena kapal-kapal Portugis dapat melarikan diri dari Selat Malaka. Kelak, sejarah membuktikan, kekhawatiran sang sultan menjadi nyata.

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement