REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Infrastruktur digital menjadi tulang punggung bagi kelancaran pengembangan cashless society di Indonesia. Teknologi digital bisa berkembang jika infrastrukturnya mumpuni dan dapat memenuhi kebutuhan.
Founder dan CEO perusahaan berbasis teknologi, bubu.com, Shinta Dhanuwardoyo mengatakan mayoritas masyarakat Indonesia sudah masuk dalam kategori Generasi Connect atau GEN-C. Mereka adalah kelompok yang berorientasi pada koneksi dan sangat erat dengan internet, tidak peduli berapa usianya.
Dalam bertransaksi, GEN-C sangat suka membanding-bandingkan harga dari satu lapak ke lapak lain di internet. Shinta melihatnya ini sebagai kekuatan baru dari konsumen. Dengan terkoneksi pada platform, mereka memiliki lebih banyak pilihan.
"Mereka tentu adalah masyarakat yang preferensinya cashless, suka pakai kartu, QR, dan alat bayar lain yang praktis," katanya kepada wartawan di Menteng, Jakarta, Kamis (28/3).
Shinta melihat gaya hidup ini mengarah pada kondisi masyarakat yang tanpa tunai. Sebagai pemilik perusahaan teknologi, Shinta memberi mentorship pada startup yang orientasinya sudah tanpa tunai sama sekali.
Meski demikian, Shinta menyadari infrastruktur masih jadi hambatan besar terutama di luar kota besar. Internet baru menjangkau 51 persen wilayah di Indonesia sehingga non-tunai belum menyentuh hampir sebagian wilayah Nusantara.
"Kita butuhkan juga literasi dan edukasi, bagaimana menguatkan potensi yang sudah ada," kata Shinta.
Menurut data Bank Indonesia, hingga saat ini ada 100 juta kartu debit. Namun ternyata masih banyak yang menggunakan kartu debit hanya untuk mengambil uang kartal di ATM. Padahal mereka bisa menggunakan kartu tersebut langsung dalam bertransaksi.
Sementara kartu kredit berjumlah sekitar 17 juta kartu. Volume transaksi kartu kredit per Desember 2018 yakni Rp 338,35 triliun, sementara nominalnya sebesar Rp 314,29 triliun.