REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Enerrgi Amerika Serikat (AS) Rick Perry telah menyetujui enam otorisasi rahasia untuk menjual teknologi nuklir kepada Arab Saudi. Itu merupakan upaya Washington mencapai kesepakatan yang lebih luas dengan Riyadh terkait transfer teknologi tenaga nuklir.
Otorisasi rahasia tersebut diberikan kepada perusahaan-perusahaan di bidang terkait. Persetujuan Perry, yang dikenal dengan istilah otorisasi Bagian 810, memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pekerjaan pendahuluan di bidang tenaga nuklir sebelum adanya kesepakatan. Namun dalam prosesnya, mereka tak membawa peralatan yang akan masuk pabrik.
Dalam salinan dokumen terkait otorisasi tersebut Departemen Energi Keamanan Nuklir Nasional (NNSA) AS meminta pemerintahan Donald Trump agar merahasiakan kesepakatan tersebut. "Dalam hal ini, masing-masing perusahaan yang menerima otorisasi khusus untuk (Arab Saudi) telah memberi kami permintaan tertulis agar otorisasi mereka ditahan dari rilis publik," kata NNSA dalam dokumen tersebut.
Departemen Energi AS sebelumnya menyediakan dokumen otorisasi Bagian 810 bagi publik yang hendak mengaksesnya. Anggota House of Representative dari Partai Demokrat Brad Sherman dalam sidang Kongres pada Rabu (27/3), telah meminta Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo untuk merilis nama perusahaan-perusahaan yang memperoleh kesepakatan.
Dia pun menuding pemerintahan Trump sengaja menghindari Kongres karena berbagi teknologi nuklir dengan Saudi. Pompeo mengatakan dia akan memeriksa nama-nama perusahaan terkait. Namun, Pompeo menyatakan bahwa saat ini pemerintah sedang berusaha memastikan teknologi nuklir yang dibagi atau ditransfer kepada negara lain tidak menimbulkan risiko proliferasi.
Banyak anggota parlemen AS yang mencemaskan transfer teknologi nuklir dengan Saudi. Hal itu dianggap dapat memicu perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah.
Bulan lalu, anggota House Democratic menuduh para pejabat di Gedung Putih mengabaikan peringatan terkait pelanggaran hukum yang mereka lakukan karena bekerja sama dengan mantan pejabat AS dalam sebuah kelompok bernama IP3 International. Mereka memajukan rencana untuk membangun reaktor nuklir bernilai miliaran dolar AS di Timur Tengah, termasuk Saudi. IP3 International enggan mengomentari pertanyaan tentang apakah pihaknya menjadi salah satu memperoleh otorisasi Bagian 810.
Tahun lalu, dalam sebuah wawancara dengan CBS, Putra Mahkota Kerajaan Saudi Pangeran Mohammed bin Salman mengatakan negaranya siap mengembangkan senjata nuklir. Hal itu akan dilakukan bila Iran merakit senjata serupa.
Saudi dan Iran telah menjadi dua kutub yang saling berseberangan di Timur Tengah. Riyadh kerap menuding Teheran sebagai pihak yang menyokong kelompok teror dan pemberontak di negara-negara Arab.
Dalam konflik Yaman, misalnya, Saudi menuduh kelompok pemberontak Houthi sebagai perpanjangan Iran. Hal itu yang mendasari Saudi melakukan intervensi militer di negara tersebut.
Agresi militer Saudi ke Yaman telah menuai banyak kecaman internasional. Sebab, tindakan Riyadh menyebabkan krisis kemanusiaan di sana kian memburuk.