REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Seorang aktivis etnis minoritas di Kayah, Myanmar, Dee De menceritakan peristiwa saat polisi mulai menembaki kerumunan orang yang menggelar aksi protes. Saat itu, setidaknya 5.000 orang berkumpul untuk berdemonstrasi menentang pendirian sebuah patung emas di ibu kota negara bagian tersebut.
“Mereka menembaki kami dengan gas air mata dan meriam air,” ujar De dilansir Aljazirah, Jumat (29/10).
Menurut De, saat itu perintah menembak diberikan oleh polisi kepada para petugas di lokasi demonstrasi. Namun, kemudian petugas lainnya mengambil senjata dan mengatakan mengikuti cara mereka menembak.
Patung yang ditentang untuk didirikan itu adalah patung Jenderal Aung San, ayah dari pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Selama ini, Aung San dianggap sebagai seorang pahlawan kemerdekaan negara itu.
Meski demikian, keputusan Pemerintah Myanmar mendirikan patung emas Aung San telah mendapat penolakan dan memicu kemarahan sejumlah komunitas etnis. Banyak dari mereka yang menilai patung itu bukanlah simbol kepahlawanan, melainkan simbol dari kebijakan yang mengurangi hak-hak etnis minoritas di negara Asia Tenggara itu.
Pemerintah Kayah mengumumkan pendirian patung Aung San atau juga yang disebut dengan patung Bogyoke (panggilan kehormatan untuk jenderal tersebut) sejak 2018 yang didukung Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang dipimpin oleh Suu Kyi. Kemunculan patung tersebut di Myanmar dinilai oleh NLD akan menebus insiden penindasan yang pernah terjadi.
Sejumlah pemimpin partai di Myanmar berpikir patung-patung itu akan menarik bagi etnis minoritas Myanmar. Terlebih, Aung San dianggap sosok yang memberikan sejumlah besar otonomi kepada negara-negara bagian dengan etnis minoritas di perbatasan melalui Perjanjian Panglong 1946. Ia juga berjanji mengakhiri konflik etnis yang rentan terjadi.
Namun, apa yang dicita-citakan Aung San berakhir begitu saja setelah ia terbunuh pada 1947. Tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Myanmar semakin terpusat di bawah militer yang didominasi Bamar. Praktik budaya etnis minoritas di negara itu kemudian dilarang, termasuk penggunaan bahasa mereka, perayaan hari-hari besar, dan karya sastra.
Pada 2015, saat NLD memenangkan pemilihan demokratis pertama di Myanmar, banyak etnis minoritas yang merasa perubahan akan terjadi. Mereka optimistis apa yang dijanjikan Aung San di masa lampau dapat tercapai. Namun, hanya sesaat kemudian mereka menyadari hal itu tak akan terealisasi.
Konflik yang terjadi di Rakhine, negara bagian tempat warga etnis minoritas Rohingya berada membuat kekhawatiran itu semakin jelas. Pada Agustus 2017, pasukan militer Myanmar melakukan operasi di sejumlah desa yang dihuni warga Rohingya dan pada akhirnya mendorong lebih dari 720 ribu dari mereka mengungsi ke Bangladesh.
PBB telah menyatakan tindakan pasukan militer Myanmar memiliki niat genosida. Namun, Pemerintah Myanmar menolak menindak atau mengkritik militer.
“Kami tak berharap pemerintah melakukan ini. Kami mendukung agar mereka mengatasi masalah hak-hak etnis serta kelompok dan federalisme,” ujar De.
De mengatakan hampir seluruh institusi pemerintah didominasi oleh etnis Burma, termasuk seluruh departemen di negara itu yang diduga kuat sebagai ajang Burmanisasi. Karena itu, saat pemerintah mulai mendirikan patung-patung Aung San tanpa meminta pendapat warga setempat, khususnya di Kayah, kecurigaan tersebut semakin nyata. De mengatakan di negara bagian itu terdapat sejarah yang berbeda.
Seorang pengamat Myanmar dari Organisasi Hak Asasi Manusia Fortify Rights, Nickey Diamond mengatakan sejak Myanmar merdeka, para politikus Burma dan pemimpin militer gagal menepati janji Aung San tentang federalisme. Akibatnya, banyak warga etnis minoritas yang menafsirkan pendirian patung Aung San sebagai bagian dari Burmanisasi.