REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berikut ini kisah Zainuddin Abdul Madjid setelah melewati masa kanak-kanak, lalu belajar di Tanah Suci. Bersama ayahnya, dia berangkat ke Makkah pada 1923. Saat itu, usia Zainuddin ialah 25 tahun. Riwayat lain menyebut, dia telah beribadah haji kala usianya 15 tahun.
Perjalanan itu disertai kedua orang tuanya, dua orang adiknya yakni Muhammad Fishal dan Ahmad Rifa'i serta seorang kemenakannya. Selain itu, gurunya, TGH Syarafuddin, juga ikut bersamanya.
Begitu usai menunaikan ibadah haji, ayah Zainuddin Abdul Madjid giat mencarikan guru untuk putranya itu di Masjid al-Haram. Upaya tersebut memerlukan waktu berhari-hari. Sampailah pada sosok Syaikh Marzuki, seorang ulama kelahiran Palembang yang lama mengajar di Makkah.
Sang Syaikh sudah cukup lama tinggal di kota suci sehingga mahir berbahasa Arab tetapi masih lekat dengan bahasa Melayu. Mayoritas muridnya merupakan kalangan Jawi, yakni sebutan Arab bagi orang-orang yang berasal dari Nusantara. Usia Syaikh Marzuki sudah mencapai 50 tahun ketika itu. Selain Zainuddin Abdul Madjid, ada orang sedaerah yang lebih dahulu, satu tahun lamanya, belajar kepada Syaikh Marzuki, yakni H Abdul Kadir asal Desa Mamben, Lombok Timur.
Ayahnya kemudian bertolak ke Tanah Air setelah menitipkan putranya itu kepada Syaikh Marzuki. Untuk keperluan sehari-hari, sebuah rumah yang terletak di sekitar Masjid al-Haram juga sudah disewakan kepada Zainuddin Abdul Madjid.
Namun, Zainuddin Abdul Madjid kemudian tak lagi menuntut ilmu kepada Syaikh Marzuki. Alasannya, dia merasa sebagai pemula. Metode pembelajaran sang syaikh dinilainya terlampau tinggi. Apalagi, saat itu dia masih awam membaca kitab-kitab dengan tulisan Arab yang tanpa tanda baca. Zainuddin Abdul Madjid ingin memulai tahapan belajar dari tingkat dasar di Masjid al-Haram.
Hanya saja, berikutnya Makkah dilanda huru-hara akibat pertentangan politik antara kubu Saud dan Syarif Hussain. Perlu waktu dua tahun agar situasi kota tersebut pulih kembali. Di saat itulah Zainuddin Abdul Madjid menjumpai Haji Mawardi, seorang asal Betawi (Jakarta) yang bekerja sebagai guru di Makkah. Haji Mawardi mengundang Zainuddin Abdul Madjid belajar di Madrasah ash-Shaulatiyah pimpinan Syaikh Salim bin Syaikh Rahmatullah. Ash-Shaulatiyah terkenal sebagai lembaga pendidikan formal pertama di Makkah.
Selain itu, madrasah ini telah menghasilkan banyak lulusan atau ulama yang berkiprah besar di Dunia Islam. Begitu diterima di ash-Shaulatiyah, Zainuddin Abdul Madjid dengan tekun menuntut ilmu dan belajar kepada sejumlah ulama di sana. Di antara para gurunya di Madrasah ash-Shaulatiyah adalah Syaikh Hasan Muhammad al-Masyath, Syaikh Sayyid Muhsin al-Musawa, dan Syaikh Sayyid Amin al-Kutbi. Untuk mendapatkan kursi di sana, Zainuddin Abdul Madjid sebelumnya harus menempuh ujian penempatan kelas.
Hasil ujian membuktikan, dia layak duduk di kelas tingkat tiga. Namun, dengan alasan ingin mendalami lebih dahulu ilmu tata bahasa Arab, Zainuddin Abdul Madjid meminta gurunya agar menempatkannya di kelas tingkat dua. Permintaan ini dikabulkan, meskipun sang guru sempat keberatan lantaran melihat kemampuan belajar putra daerah Lombok ini sudah cukup mumpuni.
Inilah momentum emas bagi Zainuddin Abdul Madjid selama menetap di Tanah Suci. Porsi rutinitasnya sebagian besar tercurah untuk belajar. Pagi hingga siang hari dia masuk kelas. Kemudian, pada sore hari dia belajar pada guru-guru lain di luar kelas. Pulang ke rumah, dia istirahat secukupnya untuk kemudian melanjutkan membaca kitab-kitab.
Pada paruh waktu malam hari, dia membiasakan diri shalat tahajud, yang dilanjutkan dengan membaca Alquran atau kitab-kitab hingga azan Subuh bergema.
Zainuddin Abdul Madjid lambat laun dikenal sebagai murid yang pintar. Tidak jarang pihak madrasah memintanya untuk menjadi wakil dalam pelbagai kesempatan. Dia juga berhasil meraih prestasi juara umum.