REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memiliki banyak ulama besar dalam sejarah. Di antara mereka adalah Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid. Sosok asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini tergolong alim yang cerdas, bahkan sejak belia. Salah satu bukti kecerdasannya adalah ketika dirinya menempuh studi di Tanah Suci.
Masa belajar yang normalnya ditempuh selama sembilan tahun, dapat dilaluinya hanya dalam kurun waktu enam tahun. Artinya, sejak dari kelas tingkat dua, dia langsung duduk ke kelas tingkat empat. Kelas-kelas selanjutnya dia tempuh hingga tingkat sembilan.
Selama menjalani pendidikan agama di Makkah dan juga sekembalinya ke Tanah Air, Zainuddin Abdul Madjid telah berguru kepada sekira 28 orang alim ulama. Segenap gurunya itu dapat dikategorikan berdasarkan mazhab fiqih, yakni 11 orang dari mazhab Imam Syafii, enam orang dari mazhab Imam Hanafi, dan 11 orang dari mazhab Imam Maliki.
Semuanya dinilai masih memiliki landasan yang sama, yaitu paham ahlus sunah wal jamaah. Tak ada yang berpaham, umpamanya, Mu'tazillah, Syi'ah, atau Wahabi. Adapun bidang-bidang keilmuan yang ditekuninya antara lain, ilmu fiqih, akhlak, tasawuf, dan ilmu falak.
Madrasah ash-Shaulatiyah menempa para murid agar menjadi pembelajar yang produktif menulis. Namun, Zainuddin Abdul Madjid agaknya merasa belum memiliki waktu yang cukup untuk menulis. Sahabat-sahabatnya dari Jawi cukup dikenal sebagai penulis. Misalnya, Syaikh Zakaria Abdullah Bila dan Syaikh Yasin al-Fadani (Padang). Bagaimanapun, dia tidak pernah berkecil hati dan justru semakin terpompa semangatnya untuk menimba ilmu.
Dalam risalah Nadzam Batu Ngompal, Zainuddin Abdul Madjid menulis: "Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Syaiikh Yasin Padang, Syaiikh Ismail dan ulama-ulama lain tamatan Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah.”
Tentunya, kata-kata itu merupakan cerminan pribadi rendah hati Zainuddin Abdul Madjid. Sebab, jumlah buku karyanya mencapai 19 judul, yakni dalam bahasa Arab sebanyak 16 kitab, sedangkan tiga buku sisanya dengan bahasa Melayu atau Sasak.
Daftarnya adalah sebagai berikut.
- Risalah Tauhid,
- Sullamul Hija Syarah Safinatun Naja,
- Nahdlatul Zainiyah,
- At-Tuhfatul Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah,
- Al-Fawakihul Ampenaniyah,
- Mi'rajush Shiibyan Ila Sama'i Ilmi Bayan,
- An Nafahat 'Alat Taqriratis Saniyah,
- Nailul Anfal,
- Nizib Nahdlatul Wathan,
- Hizib Nahdlatul Banat,
- Shalawat Nahdlatain,
- Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan,
- Ikhtisar Hizib Nahdlatul Wathan,
- Shalawat Nahdlatul Wathan/Shalawat Iftita,
- Shalawat Miftahi Babi Rahmatillah,
- Shalawat Mab'utsi Rahmatan Lil 'Alamin.
Adapun yang berbahasa Melayu-Sasak ialah:
- Batu Nompal,
- Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal, dan
- Wasiat Renungan Masa I dan II/Nasihat dan Petunjuk Perjuangan untuk warga Nahdlatul Wathan.
Selain berupa kitab-kitab, Zainuddin Abdul Madjid juga menghasilkan belasan karya lagu nasyid.
Kepiawaian Zainuddin Abdul Madjid juga mengundang kekaguman dari para gurunya. Bahkan, dia diminta untuk menulis kata pengantar untuk kitab Baqi'ah al-Mustarsyidin karya gurunya, Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat. Satu kutipan dari sang guru yang diguratkannya adalah mengenai keteguhan diri dalam menjalani kehidupan namun tetap menganggap diri fakir ketika mendalami ilmu agama.
Ahli Waris Hj Siti Rauhun didampingi Hj Siti Raehanun, dan Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi saat menerima gelar pahlawan nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/11). TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadi pahlawan nasional pertama yang berasal dari NTB.
Sebaliknya, Syaikh al-Mahsyat juga mengungkapkan pujiannya kepada sang murid. Dalam sebuah risalah, dia menulis, "Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia memajukan ilmu pengetahuan agama di Ampanan Bumi Selaparang. Terkirimlah salam penghormatan harum semerbak bagaikan kasturi dari Tanah Suci menuju Rinjani."
Pada 1934, Zainuddin Abdul Madjid bertolak dari Makkah ke Tanah Air. Saat itu, situasi Arab sedang dilanda konflik antara dua orang elite yang masing-masing mengklaim sebagai raja. Di seberang sana, kolonial Belanda sedang menjajah Indonesia, termasuk Bumi Rinjani. Pada tahun yang sama, dia mendirikan pesantren al-Mujahidin. Kitab-kitab yang banyak dipergunakan di sana berbahasa Arab-Melayu. Masjid Raya Pancor menjadi pusat kegiatan dakwah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.