REPUBLIKA.CO.ID, AUCKLAND — Teroris dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, mengajukan pengaduan resmi atas perlakuan pengadilan. Brenton Tarrant (28 tahun) mengajukan keluhan karena tidak diberi akses pengunjung dan panggilan telepon. Pelaku terorisme penembakan di dua masjid itu ditahan di Penjara Auckland, di Paremoremo, Selandia Baru.
Seperti dilansir dari BBC News, Ahad (31/3), teroris itu mengajukan keluhan pada Departemen Pemasyarakatan. Ia merasa kehilangan hak-hak dasarnya, khususnya panggilan telepon dan akses kunjungan.
Sesuai UU Permasyarakatan negara tersebut, tahanan mendapatkan hak satu pengunjung selama 30 menit dalam satu pekan dan satu panggilan telepon. Selain itu, tahanan juga memiliki hak dasar lain, seperti, makan dan minuman cukup, tempat tidur, perawatan kesehatan, dan olahraga.
Sumber Departemen Pemasyarakatan membenarkan, teroris tersebut berada di bawah pengawasan dan sel isolasi. Karena itu, dia tidak memiliki hak yang biasa diterima tahanan lain, seperti panggilan telepon dan kunjungan.
Menurut situs web Departemen Pemasyarakatan, tahanan memiliki hak diperlakukan secara manusiawi, bermartabat, dan penuh rasa hormat saat berada di penjara. Namun, departemen dapat membuat pengecualian untuk tahanan kasus tertentu. Tujuannya, lebih pada keamanan, ketertiban, dan keselamatan atau perlindungan.
Departemen Pemasyarakatan mengkonfirmasi kepada media Selandia Baru, teroris tersebut tidak memiliki akses pada media dan pengunjung. Sidang kedua Tarrant dijadwalkan berlangsung pada 5 April 2019. Namun, Tarrant belum memasukkan pembelaan atas aksi terorisme yang menewaskan 50 Muslim di Christchurch itu.