REPUBLIKA.CO.ID, AUCKLAND -- Tersangka teroris penembakan Masjid Al Noor Christchurch, Selandia Baru, Brenton Tarrant (28 tahun) mengajukan pengaduan resmi ke pengadilan. Ia mengajukan keluhan menyoal kondisi di dalam sel sebab ia tidak diberi akses pengunjung bahkan panggilan telepon.
Menurut laporan media Selandia Baru yang dilansir 9News, Tarrant mengajukan pengaduan resmi atas hak-haknya di penjara Paremoremo, Auckland. Seorang juru bicara Lembaga Pemasyarakatan menyangkal klaim tersebut. Dia mengatakan, Tarrant diperlakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Permasyarakatan 2004 serta kewajiban internasional dalam memperlakukan tahanan.
Sesuai UU Permasyarakatan negara tersebut, tahanan mendapatkan hak satu pengunjung selama 30 menit dalam satu pekan dan satu panggilan telepon. Selain itu, tahanan juga memiliki hak dasar lain, seperti makan dan minuman cukup, tempat tidur, perawatan kesehatan, dan olahraga.
Juru bicara itu mengatakan, teroris tersebut berada di bawah pengawasan dan sel isolasi. Karena itu, dia tidak memiliki hak yang biasa diterima tahanan lain, seperti panggilan telepon dan kunjungan.
"Pada saat ini, ia tak memiliki akses menonton televisi, radio atau surat kabar, dan tak ada pengunjung yang disetujui untuk menjenguknya. Untuk alasan keamanan operasional, tidak ada informasi lebih lanjut yang diberikan," ujar juru bicara dengan syarat anonim itu.
Warga Wellington memeluk umat muslim di Masjid Wellington saat pelaksanaan salat Jumat pertama pascapenembakan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3) di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Jumat (22/3/2019).
Tarrant dijadwalkan disidang kembali di Pengadilan Tinggi di Christchurch pada Jumat. Tarrant menolak ditemani pengacara, ia bersikeras mewakili dirinya sendiri di pengadilan.
Pada pengadilan pertama, satu hari setelah serangan 15 Maret, ia didakwa dengan satu tuduhan pembunuhan. Tuduhan lebih lanjutnya lagi diharapkan akan ditambah pada pengadilan berikutnya. Pihak terkait belum mengonfirmasi apakah Tarrant akan menghadapi tuduhan untuk aksi terorisme atau tidak.
Kekhawatiran muncul akankah Tarrant menggunakan pengadilannya sebagai alat untuk menyiarkan keyakinan supremasi kulit putihnya, dengan cara yang mirip dengan Anders Breivik, teroris sayap kanan Norwegia yang membunuh 77 orang pada 2011. Breivik juga mengeluh tentang penanganan dirinya di penjara. Pada 2018, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menolak permohonan Breivik yang mengeluh kondisi penjaranya mirip dengan penyiksaan yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.