REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menuturkan, pemberhentian ekspor minyek kelapa sawit (crude palm oil/CPO) ke Uni Eropa (UE) justru berpotensi positif terhadap industri hilir minyak sawit. Sebab, akan terjadi peningkatan stok bahan baku dalam negeri.
Dampak tersebut didapatkan Heri melalui simulasi atau skenario dengan metode Computable General Equilibrium. Namun, potensi positif hanya tercapai apabila pemerintah meresponnya dengan investasi di industri hilir CPO.
"Kalau tidak, peningkatan ouptut pada sektor-sektor industri hilir tidak signifikan," katanya dalam diskusi, Ahad (31/3).
Simulasi ini memperlihatkan, apabila ekspor minyak sawit berkurang 14 persen dan segera direspons dengan investasi di industri hilir CPO, maka akan terjadi peningkatan output pada sejumlah sektor. Di antaranya, industri sabun dan bahan pembersih, kimia dasar dan kosmetik yang masing-masing meningkat 8,98 persen, 6,86 persen dan 6,01 persen.
Kondisi saat ini adalah Indonesia masih unggul sebatas di produk intermediate. Berdasarkan data yang dimiliki Heri, Indonesia berkontribusi atas 54 persen dari keseluruhan ekspor CPO dunia. Sementara itu, untuk produk Oleokimia, kontribusi Indonesia berkurang hingga 31,8 persen. Sedangkan, untuk produk hilir seperti biodiesel, kontribusinya hanya 1,1 persen.
Ironisnya, Heri menambahkan, Belanda yang tidak memiliki kebun sawit justru unggul di beberapa produk hilir sawit. Salah satunya biodiesel, di mana Belanda berkontribusi sekitar 20,4 persen dari total ekspor di seluruh dunia. Tidak kalah menariknya, ada investor industri hilir sawit di Belanda yang berasal dari Indonesia.
"Pertanyaannya, kenapa investornya tidak bangun di sini saja," ujarnya.
Heri mengatakan, kelapa sawit sebenarnya dapat dijadikan produk apa saja, mulai dari produk pangan, farmasi, kimia, kosmetik, hingga produk energi (biofuel). Jadi, peranan kelapa sawit cukup strategis di dunia.
Porsi penggunaan minyak nabati dan hewani di dunia yang berasal dari sawit mencapai 40 persen, sedangkan sisanya minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak rapeseed, dan sebagainya. "Jadi terlepas dari kita yang harus merespons UE atas Renewable Energy Directive (RED)II, kita juga harus membuka peluang terciptanya hilirisasi yang semakin optimal," tutur Heri.
Di sisi lain, Heri mengatakan, pemerintah juga perlu melakukan diplomasi dan kampanye positif tentang kelapa sawit yang diperkuat oleh kajian secara komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan seperti yang telah dilakukan oleh UE. Upaya ini dapat dilakukan secara bersama-sama dengan negara-negara produsen kelapa sawit lainnya yang memiliki kepentingan sama, seperti Malaysia, Thailand dan Kolombia.
Salah satu scientific evidence yang digunakan didalam RED II adalah Indirect Land Use Change (ILUC). Dampaknya, penggunaan palm oil sebagai bahan baku biofuel akan terkendala karena dari tahun 2008 sampai 2016 telah terjadi deforestasi sekitar 5 juta hektar untuk kebun kelapa sawit. "Namun, apakah secara scientific penggunaan ILUC ini valid dan dapat dipertanggungjawabkan? Inilah yang perlu kita jawab dengan dilandasi kajian ilmiah," ujar Heri.
Sebelumnya, pemerintah menyampaikan keberatan atas keputusan Komisi Eropa untuk mengadopsi rancangan Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai komoditas tidak berkelanjutan dengan risiko tinggi. Menurut pemerintah, klasifikasi tersebut merupakan langkah diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap komoditas sawit nasional.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pernyataan sikap ini merupakan tindak lanjut kesepakatan dari 6th Ministerial Meeting Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) pada akhir Februari. Saat itu, tiga negara produsen minyak terbesar dunia (Indonesia, Malaysia dan Kolombia) menyepakati akan memberikan tanggapan terhadap langkah-langkah diskriminatif UE.