Senin 01 Apr 2019 20:23 WIB

'Dikotomi Islam dan Nasionalis Mesti Diakhiri'

Mosi Integral Natsir adalah salah satu bukti nasionalisme seorang pejuang Muslim.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Mantan Sekretaris Mohammad Natsir (Pendiri Masyumi), Lukman Hakiem di Kantor MUI Pusat, Senin (1/3).
Foto: Republika/Fuji E Permana
Mantan Sekretaris Mohammad Natsir (Pendiri Masyumi), Lukman Hakiem di Kantor MUI Pusat, Senin (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah membuktikan, Indonesia didirikan dan dirawat oleh beragam pandangan. Meski berbeda-beda, para pendiri bangsa bervisi sama, yakni keutuhan Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan mantan anggota DPR-RI Lukman Hakiem.

Lebih lanjut, mantan sekretaris pribadi Mohammad Natsir ini berpandangan, belakangan ini mulai ada tendesi untuk membenturkan antara ideologi nasionalisme dan Islam. Padahal, keduanya terbukti berjalan seiringan dalam sejarah bangsa ini.

Baca Juga

Karena itu, dia meneruskan, dikotomi yang memisahkan antara Islam dan nasionalisme harus diakhiri. Jangan beranggapan, orang Islam tidak nasionalis. Demikian pula, jangan menilai, orang yang nasionalis tidak islami.

"Dulu waktu mendirikan Negara Indonesia, NKRI, ini, membangun negara ini, semua berpartisipasi," tegas Lukman Hakiem saat berbincang dengan Republika.co.id usai acara "Sarasehan Peran Umat Islam dalam Mempelopori, Mendirikan, Mengawal dan Membela NKRI" di kantor MUI, Jakarta, Senin (1/4).

Dia menekankan, Indonesia dibangun atas kesadaran bersama untuk bersatu. Salah satu buktinya ialah momentum meleburnya negara-negara bagian bentukan Belanda di Republik Indonesia Serikat ke dalam RI. Mosi yang diinisiasi politikus Muslim Mohammad Natsir itu disahkan pada 3 April 1950. Untuk mengenang momentum itu, MUI pada hari ini membahas perlunya tanggal tersebut diperingati sebagai Hari NKRI.

Sebelumnya, dalam acara sarasehan tersebut Lukman memaparkan peran Natsir dalam menyatukan kembali Indonesia yang terpecah-belah akibat politik politikus Belanda, Van Mook. Negara-negara bagian itu terbentuk sebelum Indonesia menerima pengakuan kedaulatan dari Belanda pada Desember 1949.

Menurut Lukman, tanggal 3 April pantas diperingati sebagai Hari NKRI. Tujuannya antara lain supaya generasi muda dapat menghargai perjuangan yang dilakukan para tokoh nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler dalam memelihara keutuhan negeri ini.

Bagi Lukman, Mosi Integral Natsir masih belum mengemuka dalam buku-buku sejarah nasional. Bahkan, dia berpandangan kurikulum sejarah di sekolah-sekolah belum maksimal dalam mendorong para murid untuk mengenal dan mempelajari terbentuknya NKRI.

Selain itu, Lukman melihat banyak hal yang dapat ditiru dari sosok Natsir serta para politikus Muslim zaman itu. Misalnya, mereka terkenal kritis terhadap kekuasaan dan upaya pecah-belah. "Tokoh-tokoh ini tokoh yang kritis, bukan benci kekuasaan tapi mereka ini kritis, jadi kalau yang tidak benar dikritik, yang benar didukung," ujarnya.

Usai acara sarasehan tersebut, untuk menghormati peran tokoh dan umat Islam dalam proses pembentukan NKRI maka MUI akan membahas peringatan Hari NKRI yang nanti diajukan ke pemerintah. Sementara, Ketua Umum ICMI, Prof Jimly Ashiddiqie juga berpandangan, 3 April 1950 saat Mohammad Natsir mengajukan Mosi Integral ke parlemen, pantas untuk diperingati.

Menurut Prof Jimy, 3 April 1950 sama pentingnya seperti peristiwa-peristiwa sejarah yang sudah ditetapkan dan diresmikan sebagai hari nasional. Maka 3 April juga harus menjadi hari nasional atau Hari NKRI.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement