REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyebaran Islam di Nusantara semakin berkembang pada abad ke-14 dan 15. Daerah-daerah di sekitar pesisir pantai umumnya lebih cepat menerima agama Islam, terutama daerah yang menjadi jalur pelayaran pada masa lampau.
Catatan sejarah banyak yang menyebutkan Islam dibawa para pedagang Arab yang berlayar ke Nusantara. Di tempat mereka berdagang, mereka mempelajari kultur masyarakat setempat agar agama Islam mudah di terima dan berkembang. Pernikahan pedagang Arab dengan penduduk lokal kadang menjadi salah satu cara memperkenalkan dan mempopulerkan Islam.
Wilayah Kerajaan Buton yang sekarang menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang terletak pada jalur pelayaran. Para pedagang dari Jawa yang berlayar ke Maluku atau sebaliknya melintasi wilayah Kerajaan Buton. Maka, wilayah Buton ikut menerima dampak Islamisasi di Nusantara.
Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Buton, Hasaruddin, menerangkan, berdasarkan bukti-bukti sejarah, seorang ulama bernama Syekh Jalaluddin al- Qubra memperkenalkan Islam kepada masyarakat Buton pada tahun 1412 Masehi. Dakwahnya diyakini sebagai gelombang pertama yang memperkenalkan Islam ke wilayah Buton.
"Gelombang kedua dibawa oleh Syekh Abdul Wahid pada tahun 933 H atau 1527 M, pada tahun itu juga Syekh Abdul Wahid meninggalkan wilayah Buton, kemudian kembali lagi ke Buton pada tahun 948 H," kata Hasaruddin kepada Republika, Kamis (28/3). Ia mengatakan, kedatangan Syekh Abdul Wahid yang kedua sekaligus mengubah sis tem Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton. Sejak saat itu Islam menjadi semakin maju dan berkembang di wilayah Kesultanan Buton.
Sebelum menjadi kesultanan, Buton adalah sebuah kerajaan. Raja pertama bernama Wa Kaa Kaa dan raja kedua bernama Bulawambona. Keduanya merupakan perempuan. Sedangkan, raja ketiga seorang laki-laki bernama Bancapatola yang bergelar Bata raguru. Raja keempat bernama Tua Rade, dan Mulae menjadi raja kelima.
Raja keenam Kerajaan Buton bernama La Kilaponto atau Timbang Timbaga. Raja ke enam tersebut menjadi sultan pertama Kesultanan Buton. Masyarakat mengenalnya seba gai Sultan Murhum bergelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Setelah Islam masuk ke Buton, penduduk pribumi mempelajari dasar-dasar ajaran aga ma tersebut. Beberapa orang di antara mereka belajar konsep Islam sampai tingkat an tasa wuf. Kemudian, kalangan cerdik pandai atau kaum intelektual Islam yang berasal dari Buton berinisiatif mengembangkan ajaran Islam ke seluruh wilayah Buton. "Hasilnya, masyarakat Buton khususnya kalangan istana melaksanakan sistem pemerintahan dengan dilandasi paham Martabat Tujuh," ujarnya.
Kemudian, paham Martabat Tujuh dite tap kan menjadi ideologi Kesultanan Buton. Ber dasarkan paham ini, setiap sultan wajib memahami ajaran agama Islam sampai pada tingkatan tarekat. Hal itu menjadi salah satu prasyarat diangkatnya seseorang menjadi sultan atau perangkat kesultanan di Buton.
Menurut Hasaruddin, paham Martabat Tujuh adalah sebuah konsensus peraturan perundang-undangan yang paling utama. Penjabaran dari aturan tersebut dimuat dalam Istiadatul-Azali yang mengatur tugas dan tanggung jawab pejabat Kesultanan Buton.
"Paham Martabat Tujuh dibuat pada ta hun 1610 M, pada masa pemerintahan Sultan La Elangi yang bergelar Sultan Dayanu Iksa nuddin (sultan keempat), beliau dibantu oleh seorang ulama berkebangsaan Arab bernama Syarif Muhammad," jelasnya.