REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebagai kesultanan yang lahir dari suatu jaringan transmisi ajaran agama Islam di Nusantara, Buton tidak lepas dari kegiatan literasi, seperti membaca dan menulis. Manassa Buton berpandangan, berdasarkan naskahnaskah yang ditemukan, diketahui bahwa abad ke-16 dan 17 merupakan periode paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam di Buton.
Hasaruddin menjelaskan, pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin di berlakukan undang-undang secara tertulis yang disebut paham Martabat Tujuh. Setelah Martabat Tujuh ditetapkan sebagai undang-undang, kemudian Kesultanan Buton mem buat aturan-aturan untuk wilayah-wilayah penyangganya atau daerah Barata.
"Aturan yang diberlakukan terhadap daerah Barata tentu bukanlah dalam bentuk lisan, tetapi dalam bentuk tulisan, turunan dari tu lisan Sarana Barata masih dapat terbaca sam pai saat ini pada koleksi Abdul Mulku Zahari (buku katalog naskah Buton)," katanya.
Perkembangan tradisi menulis juga tam pak dari surat-surat yang ditulis Kesultanan Buton untuk Vereenigde Oostindie Compagnie (VOC). Seorang Kapiten Laut Buton me ngirim surat untuk Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuyeker pada 8 Jumadil Awal 1080 H atau 5 Oktober 1669 M. Kemudian, Sultan Buton mengirim surat untuk Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuyeker pada tahun 1670 M.
Sebagai upaya memperkokoh Islam di wilayah Kesultanan Buton, Hasaruddin mengatakan, putra-putra Buton dikirim belajar ke berbagai negara Islam, seperti Mesir, Turki, dan Arab Saudi. Tiga orang di antaranya Haji Abdul Ganiyu, Abdul Hadi, dan Muhammad Salih. Tiga tokoh tersebut diperkirakan belajar Islam di luar wilayah Buton pada sekitar awal abad ke-19.
Ia mengatakan, Muhammad Idrus Kaimuddin, sultan ke-29 Buton yang memerintah pada 1824-1851 juga dikenal sebagai negarawan, ulama, dan sastrawan Buton. Masa hidup Haji Abdul Ganiyu sezaman dengan sultan ke-29 Buton, sedangkan Abdul Hadi dan Mu hammad Salih adalah putra sultan ke-29 Buton. "Keempat tokoh tersebut dikenal sangat produktif dalam melahirkan syair-syair Islam yang dikemas dalam bentuk kabanti (sastra klasik Buton)," ujarnya.
Secara umum penulisan naskah Buton dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, penulis naskah hasil karya sendiri. Artinya si penulis mengarang dan menulis sen diri dengan menggunakan aksara Buri Wolio serta Bahasa Wolio (bahasa daerah di Buton).
Kedua, penulis naskah yang menerjemahkan naskah-naskah Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Wolio. Di sini penulis berperan seba gai pengalih bahasa. Ketiga, penulis naskah yang menyalin naskah hasil karya orang lain. Naskah-naskah hasil salinan mereka kemudian dijadikan sebagai koleksi pribadi masingmasing.
Pada zaman pemerintahan Kesultanan Buton, menyalin naskah hasil karya orang lain menjadi salah satu tugas pokok dari sultan kepada sekretaris kesultanan dan para pejabat tinggi kesultanan. Terutama kepada pejabat di bidang keagamaan dalam lingkungan kera ton Kesultanan Buton.
"Hasil salinan tersebut untuk dijadikan arsip kesultanan, sedangkan isinya (teks) menjadi pedoman bagi kalangan pejabat kesultanan, guru-guru agama, dan para tokoh adat.''