Selasa 02 Apr 2019 16:55 WIB

Membasmi Kapal Ilegal

Kapal ilegal tersebut kerap menggunakan alat tangkap yang tak ramah lingkungan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Dua Kapal Perikanan Asing (KIA) ilegal berbendera Malaysia ditangkap di Selat Malaka oleh petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),  Senin (11/3).
Foto: Dok KKP
Dua Kapal Perikanan Asing (KIA) ilegal berbendera Malaysia ditangkap di Selat Malaka oleh petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Senin (11/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Kurun waktu Januari hingga Maret 2019, sedikitnya 16 kapal perikanan asing ilegal (KIA) ditangkap kapal pengawas milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di perairan perbatasan. Kapal-kapal itu berasal dari dua negara, yakni Malaysia dan Vietnam.

Seolah tak kenal kapok, hampir setiap pekan, kapal pengawas melaporkan penangkapan. Rata-rata penangkapan terjadi di sekitar Kepulauan Natuna dan Selat Malaka. Mereka disebut ilegal, lantaran tak memiliki izin resmi dari pemerintah Indonesia.

Lebih-lebih, kapal tangkap yang tertangkap itu kerap menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Sebut saja misalnya, cantrang.

Penangkapan kapal asing ilegal memang masih menjadi program yang dibanggakan KKP. Terutama, ketika dipimpin Menteri Susi Pudjiastuti sejak 2014 silam. Tujuannya, agar ikan-ikan yang berkembang biak di perairan Indonesia dapat dinikmati sepenuhnya oleh nelayan lokal.

Kepada Republika, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Agus Suherman, menjelaskan, wilayah perairan yang mendominasi Indonesia menjadi daya tarik sendiri dari para nelayan di negara tetangga. Di sisi lain, disinyalir tengah terjadi penurunan jumlah stok perikanan di wilayah perairan mereka.

Namun, disaat bersamaan, kebutuhan ikan sebagai bahan baku industri makanan terus bertambah. “Ini yang mendorong kapal-kapal perikanan negara tetangga masuk ke perairan Indonesia untuk menangkap ikan,” kata Agus.

Beberapa hasil riset terdahulu menunjukkan potensi kerugian akibat adanya kegiatan Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing). Tonny Wagey, dalam penelitiannya tahun 2002 memperkirakan kerugian akibat praktif IUU Fishing di Perairan Arafura mencapai Rp 11-17 triliun.

Sementara, David Agnew pada 2015 mengestimasikan kerugian negara-negara di dunia akibat penangkapan ikan secara illegal rata-rata mencapai 10 hingga 23,5 miliar dolar AS. Kedua riset itu menjadi salah satu landasan Rencana Kebijakan Strategis (Renstra) KKP 2015-2019. 

Agus menuturkan, kerugian lain dari sisi ekonomi antara lain yakni putusnya nilai ekonomi dari ikan yang dicuri serta hilangnya pungutan hasil perikanan (PHP) bagi negara. Bagi industri perikanan domestik, unit pengolahan ikan kekurangan pasokan bahan baku.

Hal-hal itu, menurut Agus, melemahkan upaya pemerintah untuk mendorong daya saing produk perikanan nasional. “Tidak kalah penting, mata pencaharian nelayan skala kecil jelas kalah bersaing dengan kapal asing,” ujarnya. 

Sebanyak 16 kapal asing yang tertangkap selama kuartal I 2019 berkapasitas antara 49 gross ton (gt) hingga 165 gt. Dari 16 kapal itu, sembilan di antaranya berasal dari Vietnam, sedangkan tujuh lainnya dari Malaysia.

Akibat besarnya kapasitas dan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan itu, sumber daya perikanan nasional bisa rusak. Praktik IUU Fishing turut mempersulit otoritas dalam memperoleh data akurat potensi sumber daya perikanan.

Nelayan kecil yang lemah makin terdesak. Lama kelamaan memaksa mereka untuk beralih profesi. Menurut Agus, potret itu yang diantisipasi pemerintah. Sebab, Indonesia dapat dipandang negatif oleh dunia karena tak mampu mengelola sumber daya laut dan ikannya. 

Oleh sebab itu, nelayan juga menjadi salah satu elemen penting yang selama ini membantu pemerintah dalam pengawasan sumber daya laut. Apapun sumber informasi nelayan, dijadikan data awal untuk dianalisis secara mendalam sebagai dukungan dalam operasi kapal pengawas.

Koordinator Satgas 115, Achmad Santosa, menambahkan, dari hasil pantauan di sejumlah daerah, praktif IUU Fishing sebelum tahun 2015 lebih marak dari saat ini. Setidaknya, ada tiga kategori pelaku.

Pertama, kapal asing yang tidak mengantongi izin dari pemerintah Indonesia. Kedua, kapal ikan buatan asing dimana pemiliknya adalah orang asing yang mengantongi izin SIUP, SIPI, dan SIKPI dari pemerintah. Namun, tiga izin itu merupakan milik orang Indonesia. Ketiga, kapal ikan Indonesia yang melakukan aktivitas penangkapan dengan cara yang tidak ramah lingkungan.

“Tentu saja, kapal ikan Indonesia sekarang ada yang berusaha patuh, tapi jumlahnya tidak banyak,” ujarnya.

Pasca-Satgas 115 dibentuk tahun 2015, ia mengklaim penangkapan kapal ilegal semakin gencar berkat kerja sama lintas aparat. Kapal penangkap ikan skala jumbo juga berhasil ditangkap. Misalnya, Kapal Viking, Sino, Hua Li 8, Fu Yuan, Silver Sea 2, dan STS 50.

Saat ini, Satgas 115 bersama TNI Angkatan Laut dan KKP, tengah menggencarkan pengawasan di wilayah perairan Kepulauan Natuna. Seperti diketahui, Natuna merupakan salah satu daerah terluar Indonesia yang memiliki sumber daya perikanan melimpah.

“Saya yakin, pencuri tidak bertambah atau bisa jadi berkurang. Hanya saja, patroli laut yang saat ini makin gencar seiring perbaikan koordinasi di laut,” ujarnya.

Susanto merinci, kurun 2015-2018 sudah ada 488 kapal yang ditangkap. Sebelum 2019, kapal yang ditangkap langsung ditenggelamkan. Maksud dari kebijakan itu untuk memberikan efek jera dan pendidikan publik.

Namun, saat ini, kapal diberikan kepada Kejaksaan Negari dan Kementerian Keuangan untuk dialihkan menjadi aset negara. Kapal-kapal itu dijadikan alat edukasi publik dan keperluan logistik perikanan terbuka yang bisa dipakai nelayan. Ia memastikan, kapal-kapal itu terpantau ketat dan dipastikan tidak digunakan untuk kegiatan yang terlarang.

Ketua Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia di Kepulauan Natuna, Setiyono, mengakui dampak operasi penangkapan kapal cukup dirasakan. Sebelum ada operasi rutin, kapal-kapal asing ilegal bebas berlabuh di sekitar Natuna untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia siang dan malam. Sementara, masyarakat nelayan sekitar hanya bisa menyaksikan kegembiraan kapal asing itu.

Akibatnya, nelayan pun sulit mencari dan menangkap ikan. Apalagi rata-rata kapal yang dimiliki hanya berkapastas di bawah 10 gt. Pasca operasi digencarkan, nelayan jauh lebih mudah mendapatkan ikan meski dengan berlabuh kurang dari 12 mil.

Itu terlihat dari hasil tangkapan nelayan yang mulai meningkat. Biasanya, kata Setiyono nelayan kapal kecil membawa satu boks yang dapat menampung muatan sekitar 5 ton. Dahulu, kata Setiyano, sulit bagi nelayan untuk bisa memenuhi boks itu. Sekarang, nelayan bisa pulang melaut dengan boks yang terisi penuh. “Jadi, nelayan sangat merasakan manfaatnya,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement