REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Saifullah Yusuf menyesalkan pengadangan yang dilakukan sekelompok massa terhadap kedatangan calon wakil presiden nomor urut 01 KH Maruf Amin di Pamekasan, Madura. Menurut dia, aksi pengadangan itu bukanlah budaya orang Madura.
"Ini sangat memprihatinkan dan kami menyesalkannya," ujar Gus Ipul, sapaan akrabnya, kepada wartawan di Surabaya, Selasa (4/2).
Ia berpendapat, jika pengadangan ini dibiarkan, mantan wakil gubernur Jatim itu khawatir akan memicu tindakan serupa terhadap calon lain. Hal tersebut akan sangat tidak bagus bagi proses demokrasi di Tanah Air.
Gus Ipul mengimbau semua pihak terutama pendukung masing-masing calon bisa menahan diri agar proses demokrasi kali ini bisa berjalan dengan normal dan damai.
"Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dipikirkan bersama setelah 17 April. Siapa pun presidennya, rakyat ini harus sejahtera dan Indonesia menjadi semakin kuat. Itulah hal yang harus dijaga bersama-sama," katanya.
Selain itu, ia masih yakin aksi penolakan terhadap KH Ma'ruf Amin bukanlah karakter asli masyarakat Madura yang selama ini punya tradisi kuat menghormati tamu.
Hal itu, jelas Gus Ipul, bisa dilihat kalau ada tamu, orang Madura pasti akan membersihkan rumah. Bahkan, ada juga yang sampai mengecat rumah. Lebih-lebih jika tamunya adalah seorang ulama. "Insiden pengadangan mungkin ada kesalahpahaman atau terprovokasi," katanya.
Sebelumnya, kampanye cawapres KH Ma'ruf Amin di Pulau Madura diadang massa yang mengatasnamakan pendukung Prabowo Subianto saat rombongan melewati kawasan Pamekasan, Senin (1/4). Massa meneriakkan dukungan terhadap capres nomor urut 02 sembari meneriakkan pilihan yang berbeda.
Pengadangan itu terjadi saat rombongan hendak menghadiri ziarah dan haul makam Kiai Suhro di Pamekasan. Pemilihan Presiden diselenggarakan pada 17 April 2019 dan diikuti dua pasangan calon, yaitu nomor urut 01 Jokowi-KH Ma`ruf Amin serta nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.