REPUBLIKA.CO.ID, ALJIR -- Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika pada Selasa (2/4) mengundurkan diri, menyerah terhadap gelombang besar tekanan masyarakat setelah unjuk rasa massal berpekan-pekan menentang kepemimpinannya yang telah berlangsung 20 tahun. Pemimpin berusia 82 tahun itu mengumumkan pengunduran dirinya dalam taklimat yang disiarkan kantor berita pemerintah APS, sesaat setelah kepala staf tentara menghendaki aksi secepatnya untuk menyingkirkannya dari kedudukan.
Pada Senin (1/4), Bouteflika yang kesehatannya buruk dan jarang menampakkan diri di hadapan umum sejak mengalami stroke pada 2013, menyatakan akan berhenti sebelum akhir jabatannya pada 28 April. Namun, kepala staf militer Letnan Jenderal Ahmed Gaed Salah mengatakan, bahwa taklimat tersebut telah diterbitkan oleh "pihak-pihak di luar undang-undang dan tidak sah," menurut APS.
"Tidak ada lagi tempat untuk buang-buang waktu ... kami memutuskan dengan jelas, untuk berpihak pada rakyat sehingga seluruh kehendak mereka harus dipenuhi," kata Salah setelah suatu rapat bersama para pejabat tinggi.
Ratusan warga Aljazair turun ke jalan-jalan di Ibu Kota setelah pengunduran Bauteflika. Mereka melambai-lambaikan bendera Aljazair atau berkendara dengan konvoi di pusat kota tempat mereka mulai melakukan unjuk rasa massal pada 22 Februari.
"Keputusan Bouteflika (untuk mundur pada akhir masa jabatan) tidak akan mengubah apa pun," kata Mustapha Bouchachi, seorang pengacara dan pimpinan unjuk rasa kepada Reuters sebelumnya pada Selasa.
Pengunduran diri Bouteflika ini akan menempatkan Abdelkader Bensalah, ketua Majelis Tinggi, sebagai pejabat presiden selama 90 hari sampai pemilihan umum diselenggarakan. Penunjukkan Bouchachi sebagai pegemban pemerintahan adalah langkah untuk melanggengkan sistem politik saat ini.
"Yang penting bagi kami adalah kami tidak menerima (pengembang baru) pemerintah. Unjuk rasa damai akan terus berlanjut."
Sebagai veteran perang kemerdekaan, Bouteflika ditunjuk menjadi presiden pertama pada 1999 dan menempatkan dirinya sendiri dengan mengakhiri perang saudara terhadap kelompok Islam fanatik yang telah menewaskan sekitar 200 ribu nyawa. Namun, negara tersebut tetap terperosok dalam korupsi dan dalam isyarat bahwa pemerintahan Bouteflika akan berakhir, sejumlah penguasa yang dekat dengan kubunya telah dicekal melakukan perjalanan ke luar negeri dalam beberapa hari terakhir, sebagai upaya memberantas sekutu-sekutunya.
"Komplotan itu telah mengeruk banyak uang dan mengambil banyak keuntungan dengan ketertutupannya dengan pembuat keputusan," kata Salah, menurut APS, merujuk pada para pengusaha yang tidak disebutkan namanya.
Demo-demo terjadi oleh desakan kaum muda dan para pengacara yang menghendaki penyingkiran para elite penguasa yang selama ini dipandang sebagai kelompok yang tidak tersentuh oleh warga biasa dan menguasai perekonomian dengan praktik kroni.