REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, menyerukan percepatan proses repatriasi pengungsi Rohingya. Kendati demikian, dia menekankan hal itu harus dilakukan dengan tetap memastikan keamanan mereka.
"Ini akan baik untuk semua jika Rohingya dapat dipulangkan sesegera mungkin, memastikan keamanan dan keselamatan mereka," ujar Sheikh Hasina pada Selasa (2/4) lalu, dikutip laman Anadolu Agency.
Dia mendesak Pemerintah Myanmar mengimplementasikan rekomendasi yang diajukan oleh komisi pimpinan mantan Seretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan untuk menyelesaikan krisis Rohingya.
Pada Agustus 2017, militer Myanmar melakukan operasi untuk memburu Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di Negara Bagian Rakhine. Operasi dilakukan setelah ARSA menyerang beberapa pos keamanan di wilayah tersebut.
Namun dalam eksekusinya, militer Myanmar turut menyerang warga sipil Rohingya. Setelah kejadian itu, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan meggantungkan hidup pada bantuan internasional.
Pada November 2017, Bangladesh dan Myanmar menyepakati pelaksanaan repatriasi. Tahun lalu, kedua negara memulai proses pemulangan sekitar 2.200 pengungsi. Namun proses tersebut dikritik oleh sejumlah negara, termasuk PBB.
PBB menilai sebelum benar-benar dipulangkan, para pengungsi seharusnya diberi izin untuk melihat situasi serta kondisi di Rakhine. Dengan demikian, mereka dapat menilai dan menyimpulkan sendiri apakah dapat pulang dengan aman ke sana.
Di sisi lain, PBB masih menyangsikan bahwa hak-hak dasar Rohingya, terutama status kewarganegaraan, dapat dipenuhi oleh Myanmar.
Pada 11 Maret lalu, pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Yanghee Lee menyerukan Dewan Keamanan PBB agar kasus kekerasan Rohingya dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Menurut dia, para korban seharusnya tidak dibiarkan untuk menunggu proses peradilan internasional.
"Jika tidak mungkin untuk merujuk situasinya ke ICC, komunitas internasional harus mempertimbangkan untuk membentuk pengadilan independen," kata Lee.