REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kampanye media sosial dari pemerintah Prancis telah diblokir oleh Twitter. Pemblokiran justru terjadi sebagai konsekuensi dari undang-undang antiberita palsu yang dibuat pemerintah setempat.
Sejak Desember, Prancis telah mengharuskan kampanye politik secara daring untuk menyatakan pihak yang mendanainya berikut besaran bujet. Namun, sekarang Twitter telah menolak kampanye pendaftaran pemilih pemerintah.
Menurut pejabat pemerintah, Twitter tidak dapat menemukan solusi untuk mematuhi pasal undang-undang yang baru. Twitter disebut memilih untuk menghindari masalah potensial sama sekali, yakni melarang semua kampanye politik.
Pemerintah Prancis tengah menggulirkan kampanye yang sebetulnya hanyalah iklan layanan masyarakat. Kampanye #OuiJeVote (Ya, saya memilih) mendorong pemilih untuk mendaftar untuk pemilihan umum Eropa sebelum memasuki batas waktu.
Kampanye ini dioperasikan oleh layanan informasi pemerintah Prancis yang telah merencanakan untuk membayar cicitan yang disponsori. Akan tetapi, pesan-pesan itu justru diblokir Twitter.
Penolakan Twitter untuk mengambil uang dari negara untuk mempromosikan pesan itu membingungkan banyak orang di Prancis. Seorang anggota parlemen, Naïma Moutchou, mencicit: "Saya pikir itu adalah April Mop!"
Menteri Dalam Negeri Prancis Christophe Castanter juga mengekspresikan rasa frustrasinya di Twitter atas keputusan tersebut. Dia menganggap langkah Twitter blunder.
"Prioritas Twitter adalah untuk memerangi konten yang mengagungkan terorisme. Bukan kampanye untuk mendaftar pada daftar pemilihan republik yang demokratis." kata Castanter seperti dilansir BBC.
Undang-undang Prancis yang baru, yang mulai berlaku pada bulan Desember, dirancang untuk memerangi pesan politik anonim dan memperjelas siapa yang membayar iklan. Ini menuntut platform online untuk memberikan informasi yang adil, jelas, dan transparan tentang orang atau perusahaan, dan jumlah yang dibayarkan dalam format database yang terbuka dan dapat diakses.
"Twitter tidak tahu bagaimana melakukan hal itu hari ini dan karenanya memutuskan untuk memiliki kebijakan garis keras yang akan memotong apa yang disebut kampanye politik," kata layanan informasi pemerintah.
Tetapi kantor pemerintah berpendapat bahwa pesan informasi publik tidak boleh dianggap sebagai kampanye politik. Apalagi, isinya hanya meminta orang mendaftar untuk memilih.
"Bukan karena hukum telah menjadi bumerang terhadap kita, itu hanya soal platform yang tidak mematuhi. Menurut pendapat kami, ini adalah sikap terakhir mereka untuk mengembalikan diskusi dengan tujuan menyesuaikan langkah-langkahnya," katanya.