Kamis 04 Apr 2019 06:37 WIB

Indef: Target Penerbitan SBN Ritel Sulit Tercapai Semester I

Ada empat instrumen SBN ritel yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana menerbitkan 10 kali surat berharga negara (SBN) khusus investor ritel pada 2019. Penerbitan ini dilakukan sebagai cara untuk membiayai anggaran dan masyarakat bisa turut berpartisipasi mendukung pembangunan negara dengan menjadi investor SBN.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pada tahun ini pasar SBN ritel masih belum bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar secara optimal, khususnya industri asuransi, keuangan non bank dan kelompok masyarakat berpenghasilan menengah. Meskipun pemerintah telah menyiapkan pendanaan lebih besar manakal target pendapatan negara tidak tercapai pada semester satu berjalan.

Baca Juga

“Sulit untuk dicapai untuk semester satu ini. Meski strategi Front Landing pada awal tahun untuk mengantisipasi ketidakpastian global seiring perkembangan ekonomi maupun ketidakpastian kebijakan ekonomi AS yang berimplikasi ke Indonesia,” ujar Ekonom Indef Tauhid Ahmad ketika dihubungi Republika, Rabu (3/4).

Adapun rencana penerbitan SBN ritel setidaknya akan meraih sumber pembiayaan setidaknya sebesar Rp 389 triliun pada APBN 2019. Dia menyebut kendala lainnya terkait pembiayaan SBN ritel yakni momentum politik cukup banyak berpengaruh terhadap sikap investor asing.

“Mereka (investor asing) melihat sejauh mana dukungan kebijakan pemerintah yang akan datang mendukung sikap pro pasar atau justru menghambat,” ungkapnya.

Dia menjelaskan tingkat kupon SBN memang turun dari 8,05 persen menjadi 7,95 persen. Perbedaannya pada spread tetap yang berkurang dari 255 bps (2,55 persen) menjadi 195 bps (1,95 persen). Ini artinya mengurangi minat investor melakukan pembelian SBN dalam jumlah yang relatif besar meskipun investor tetap melakukan pembelian dalam jumlah tertentu. 

“Konsekuensinya front loading akan sulit dicapai seperti halnya pada 2018, di mana pemerintah akhirnya melakukan lelang SBN kembali pada Oktober 2018, sehingga dibutuh penyesuaian (perubahan target) seiring pembelian SBN yang telah dilakukan pada semester I,” ucapnya.

Namun, dia mengungkapkan strategi front loading tidak serta merta menjadi APBN-P.  Front loading pada dasarnya kebijakan yang mendorong pemerintah untuk menjaga ketahanan fiskal tetap terjaga melalui pembiayaan, meskipun target pendapatan negara tidak tercapai.

Pemerintah pada akhirnya tetap akan lelang SBN pada kuartal IV melihat cashflow anggaran yang dinilai kurang sehat.  “Saya melihat pada APBN-P 2019 akan terjadi manakala beragam banyak kebijakan dan program yang tidak terwadahi dalam anggaran APBN 2019.  Kecil kemungkinan kalau pemerintahan incumbent yang melakukakannya.  Namun jika pemerintahan dengan wajah ‘baru’ maka peluang tersebut akan dibuka meskipun tidak bisa banyak dilakukan,” paparnya.

Front loading merupakan istilah yang digunakan untuk strategi penerbitan SBN pada awal tahun dengan jumlah yang cukup banyak. Dengan demikian, penerbitan utang sampai dengan akhir tahun menjadi lebih sedikit.

Berdasarkan informasi dari website Kementerian Keuangan, ada empat instrumen SBN ritel yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat. Ke empat instrumen ini akan diterbitkan dalam empat kali penerbitan untuk sukuk tabungan (ST) yakni pada Februari, Mei, Agustus dan November 2019.

Selanjutkan empat kali penerbitan savings bond ritel (SBR) pada Januari, April, Juli dan September 2019, satu kali sukuk ritel (SR) pada Maret 2019 dan satu kali obligasi ritel Indonesia (ORI) pada Oktober 2019.

Pemerintah menargetkan penghimpunan dana sebesar Rp 80 triliun dari penerbitan instrumen-instrumen tersebut. Penerbitan ini akan mengkontribusi target penerbitan SBN bruto sebesar Rp 825,7 triliun tahun ini.

Sampai dengan Februari 2019, pemerintah telah menerbitkan sebanyak dua instrumen SBN ritel, yakni SBR-005 dan ST-003 dengan total nominal penerbitan Rp 7,33 triliun. Pemerintah juga baru saja menerbitkan SR-011 yang ditawarkan sejak 1-21 Maret 2019 dengan target penghimpunan dana Rp 10 triliun atau meningkat dibandingkan penerbitan SR-010 yang mencapai Rp 8,43 triliun.

SBN ritel yang ditawarkan pemerintah memiliki berbagai keutamaan dibandingkan instrumen investasi lainnya. Dari segi suku bunga atau kupon untuk instrumen SBR, SR, ST dan ORI jauh lebih tinggi dibandingkan suku bunga deposito di bank umum. Sebab, kupon SBR dan ST disesuaikan tiap tiga bulan di atas BI 7 days reverse repo rate dan untuk ORI dan SR ditetapkan di atas deposito bank BUMN.

Keutamaan lainnya adalah dari segi jaminan, investasi di SBN ritel dijamin oleh negara. Berbeda halnya dengan berinvestasi di saham ataupun reksadana terproteksi yang mengikuti perkembangan pasar modal dan di deposito yang hanya simpanannya hanya dijamin sampai batas Rp 2 miliar.

Investasi di SBN ritel juga terjangkau karena bisa dimulai dengan dana investasi minimal Rp 1 juta. Apalagi pembeliannya yang sangat mudah, yakni bisa secara online melalui bank, perusahaan efek, fintech peer to peer lending dan perusahaan efek khusus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement