REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Samsung Electronics Co telah mencatat laba kuartalan terendah dalam lebih dari dua tahun seiring melimpahnya chip memori dan melambatnya penjualan panel. Persaingan dalam industri smartphone turun menjerumuskan laba kuartalan Samsung.
Raksasa teknologi Korea Selatan itu pada Jumat (5/4) mengatakan laba operasi kuartal pertama kemungkinan turun 60 persen dari tahun sebelumnya. Perseroan kehilangan ekspektasi pasar dan menempatkannya di jalur untuk laba kuartalan terlemah sejak akhir 2016.
Saham Samsung naik sesaat sebelum memangkas keuntungan untuk diperdagangkan flat mengikuti panduan. Banyak investor sudah berekspektasi untuk pemulihan pendapatan peningkatan harga chip di paruh kedua tahun ini.
Samsung memasok chip memori dan layar untuk smartphone miliknya sendiri dan Apple Inc, dan chip server untuk perusahaan cloud seperti Amazon. Bisnis semikonduktornya adalah pendorong laba utama.
"Di kuartal kedua, harga chip memori akan mengalami soft landing, sehingga penurunan akan melambat, dan rilis Iphone baru kelihatannya merupakan pertanda baik untuk tampilan dan chip memori Samsung," kata Kim Yang-jae, analis di KTB Investment and Securities.
Pembuat smartphone dan chip memori terbesar di dunia ini mengatakan dalam laporan laba Januari-Maret keuntungan kemungkinan sebesar 6,2 triliun won (Rp 77,4 triliun). Nilai ini di bawah estimasi 6,8 triliun won (Rp 84,9 triliun), menurut Refinitiv Smart Estimate.
Pendapatan kemungkinan turun 14 persen dari tahun sebelumnya menjadi 52 triliun won (Rp 649 triliun). Perusahaan akan mengungkapkan pendapatan terperinci pada akhir April.
Saham Samsung berada di posisi flat pada 01.20 GMT, sementara pasar yang lebih luas naik 0,2 persen. Perusahaan sebelumnya telah memperingatkan kuartal ini bisa mengecewakan karena jatuhnya harga memori dan melambatnya permintaan untuk panel display yang digunakan dalam Iphone Apple.
Sementara itu, smartphone premium Samsung Galaxy sedang berjuang untuk menjadi menguntungkan karena meningkatnya biaya inovasi, persaingan dari rival Cina dan keengganan konsumen untuk melakukan upgrade, kata para analis.