REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia pada dasarnya memiliki kebebasan. Minimal, manusia bebas berpikir atau mengkhayalkan sesuatu. Namun, adakalanya keleluasaan seseorang dibatasi, sehingga dirinya terpaksa melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak disukai.
Ikraah (paksaan) menurut bahasa berarti 'membawa manusia kepada urusan yang tidak diinginkannya secara wajar atau syara.'' Orang yang dipaksa dinamakan mukrah.
Menurut syariat, ikraah adalah 'membawa orang lain kepada apa yang tidak disenanginya'. Pemaksaan bisa macam-macam bentuknya. Bisa dengan ancaman hendak dibunuh, dianiaya, dipenjara, dirusak hartanya, disiksa, atau dilukai. Tidak ada perbedaan apakah paksaan itu dari hakim, pencuri, ataupun dari yang lainnya.
Ibnu Mas'ud pernah berkata, "Bilamana ada seorang penguasa memaksaku untuk berbicara dengan ancaman cambukkan baik sekali atau dua kali, maka aku akan berbicara demi untuk menghindarkan cambukan agar jangan menimpa diriku."
Ikraah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu ikraah untuk berbicara dan berbuat. Ikraah (paksaan) untuk berbicara tidak mewajibkan sesuatu bagi orang yang dipaksa. Sebab, dia tidak lagi mukalaf. Apabila dia mengucapkan kata-kata yang mengandung kekafiran, dia dimaafkan menurut syariat. Bila dia menuduh orang lain, dia tidak dikenakan had.
Apabila dia ikrar, ikrarnya tidak bisa dipegangi. Bila dia dipaksa mengadakan akad nikah, hibah, atau jual beli, akadnya ini tidak berlaku. Bila dia bersumpah atau bernadzar, maka sumpah atau nadzarnya ini tidak menuntut sesuatu. Bila dia menceraikan isterinya atau merujuknya, maka tidak terjadi perceraian dan rujuknya pun tidak sah.
Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah Firman Allah dalam surat An-Nahl [16] ayat 106 yang artinya, "Barangsiapa kafir terhadap Allah sesudah dia beriman, dia mendapat kemurkaan Allah, kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa); akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar."
Sedangkan paksaan untuk berbuat ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, yang diperbolehkan oleh keadaan (darurat). Misalnya, paksaan untuk meminum khamar, memakan bangkai, memakan daging babi, memakan harta orang lain, atau apa yang diharamkan Allah. Dalam keadaan yang demikian, maka diperbolehkan melakukan hal itu semuanya.
Bahkan diantara para ulama ada yang memandang wajib melakukannya bila tidak ada keselamatan kecuali dengan melakukannya. Hal ini tidak berbahaya bagi seseorang, dan tidak melalaikan hak Allah. Begitu pula orang yang dipaksa berbuka puasa Ramadhan, atau shalat bukan menghadap kiblat, sujud kepada berhala atau salib, maka dia diperbolehkan, dengan meniatkan sujud kepada Allah Yang Mahaagung.
Kedua, paksaan yang tidak diperbolehkan oleh keadaan (tidak darurat). Misalnya, paksaan untuk membunuh, melukai, menganiaya, berzina, dan merusakkan harta. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: ''Sesungguhnya Allah mengampuni umatku dari dosa yang dilakukan karena kesalahan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan kepada mereka.'' Demikian disarikan dari buku Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq.