REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geosifika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya tidak menggunakan buoy untuk memantau tsunami. Akan tetapi, pihaknya menggunakan sensor gempa dan kecerdasan buatan yang diproses menggunakan superkomputer.
"Dengan menggunakan sensor gempa dan superkomputer, bisa diketahui lokasi gempa dan kekuatannya dalam dua menit. Menit berikutnya sudah bisa mengolah potensi tsunami berikut permodelannya," kata Dwikorita dalam taklimat media yang diadakan di Jakarta, Jumat (5/4).
Setelah superkomputer dan kecerdasan buatan mengolah kemungkinan tsunami beserta permodelan, petugas BMKG kemudian melakukan verifikasi. Bila memang terdapat kemungkinan tsunami, maka BMKG akan mengeluarkan peringatan dini.
Hal itu tidak bisa dilakukan bila menggunakan buoy atau alat berpelampung yang diletakkan di tengah laut. Buoy baru mendeteksi setelah tsunami melewatinya sehingga tidak bisa memberikan peringatan dini.
Dwikorita mengatakan tsunami bisa datang sangat cepat. Tsunami di Palu, misalnya, pertama kali sampai di Kabupaten Donggala hanya dua menit setelah gempa terjadi.
"Namun, komputer bisa saja salah. Bisa jadi sudah ada peringatan dini, tetapi tsunami tidak terjadi," tuturnya.
Selain penggunaan teknologi, Dwikorita mengatakan kearifan lokal harus dikembangkan dalam kesiapsiagaan bencana. Di Aceh, misalnya, sudah terbangun kebiasaan untuk lari ke tempat tinggi bila masyarakat merasakan guncangan keras.
"Warga di Donggala juga menyampaikan beberapa saat sebelum terjadi gempa, sapi-sapi yang ada di pantai berlarian panik ke gunung. Pemilik yang mengejar sapinya akhirnya selamat dari tsunami. Ini tentu perlu ada kajian lebih lanjut," katanya.