REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), Bachtiar mengatakan, Bawaslu telah memproses sembilan kasus politik uang. Kesembilan kasus tersebut telah diputuskan. Dari kasus tersebut, paling banyak terjadi di DKI Jakarta, Jumat (5/4).
"Kesembilan putusan tersebut dipidana dengan hukuman yang beragam, mulai dari enam, empat, tiga, dan dua bulan. Rata-rata pelakunya adalah anggota DPR, DPRD, dan DPD. Ada pula dari pelaksana kampanye satu orang," kata Bachtiar.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam Diskusi "Mengawal Integritas Pemilu" yang diselenggarakan oleh Setara Institute. Diskusi tersebut digelar di Hotel Ashley, Jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat.
Kemudian, Bachtiar menuturkan, Bawaslu memiliki fokus perhatian masalah politik uang, khususnya dalam hal penerimaan dana kampanye yang melebihi batas. Selain itu, Bawaslu juga melakukan pengawasan terhadap sumber dana kampanye yang dilarang, seperti aliran dana dari luar negeri.
Di sisi lain. Berkaitan dengan politik uang. Bahctiar menambahkan, adanya celah dalam aturan perundang-undangan masalah politik uang. Sehingga menimbulkan multi tafsir.
Ia kemudian membandingkan, dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pihak yang dapat dikenakan hukuman adalah pelaku pemberi uang saja. Sedangkan penerima uang tersebut tidak mendapatkan sanksi.
Sementara, mengacu pada Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, pemberi dan penerima uang dapat dikenakan sanksi. Menurut Bachtiar, peraturan seperti itulah yang menyulitkan gerak Bawaslu.
Sebagaimana dalam UU Pemil, Bawaslu ditugaskan untuk mencegah terjadinya politik uang. Hal itu diatur dalam pasal 93 huruf e.
Dalam undang-undang tersebut juga diatur masalah sumber dana kampanye yang dilarang. Pasal 339 menyebutkan, "Sumber dana kampanye yang dilarang adalah pihak asing; penyumbang yang tidak jelas identitasnya; hasil tindak pidana; pemerintah, baik pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah; serta pemerintah desa dan badan usaha milik desa".