Sabtu 06 Apr 2019 03:52 WIB

Maaf Boeing Jadi Amunisi untuk Renegosiasi Kontrak Pesawat

amunisi yang dimaksud dalam hal negosiasi kontrak pembelian 49 pesawat jenis Boeing 7

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Esthi Maharani
Petugas pencari menelusuri puing armada Ethiopian Airlines di Bishoftu, Debre Zeit, selatan Addis Ababa, Ethiopia, 11 Maret 2019.
Foto: AP/Mulugeta Ayene
Petugas pencari menelusuri puing armada Ethiopian Airlines di Bishoftu, Debre Zeit, selatan Addis Ababa, Ethiopia, 11 Maret 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menilai permintaan maaf resmi dari Boeing atas kecelakaan dua pesawat Ethiopian Airlines dan Lion Air beberapa waktu lalu menjadi amunisi bagi Indonesia. Menurut Rezasyah, amunisi yang dimaksud dalam hal negosiasi kontrak pembelian 49 pesawat jenis Boeing 737 Max 8 oleh maskapai Garuda Indonesia.

Sebab, perusahaan BUMN tersebut sudah mengeluarkan predown payment (PDP) sebesar 26 juta dolar AS kepada Boeing untuk pesanan 50 unit, namun baru dikirimkan 1 unit dan saat ini dilakukan grounded.

"Ini tentu menjadi amunisi bagi Indonesia karena kita sudah teken kontrak dengan Boeing ya, dan kalau kita tidak jadi beli, kerugian kita ratusan miliar ya," kata Rezasyah saat dihubungi wartawan, Jumat (5/4).

Menurutnya, permintaan maaf tersebut dapat menjadi perjanjian informal mengikat atau gentlement agreement antara Pemerintah Indonesia dengan Boeing untuk renegosiasi kontrak. Karena, jika dua pihak tersebut bersikukuh pada sikapnya, tidak akan ada jalan keluar atas kerugian yang dialami kedua belah pihak tersebut.

"Karena itu tim negosiasi Indonesia dan tim negosiasi boeing harus ketemu jangan sampai saling ancam. Boeing akan mengancam kalau Indonesia membatalkan kontrak, kemudian kan kita belum menentukan sikap, jadi dengan itu harapannya pemerintah indonesia Dirjen perhubungan udara Kemenub satu kata, satu suara," ujarnya.

Namun yang terpenting, permintaan maaf Boeing penting bagi keluarga korban kecelakaan pesawat. Ia juga berharap pihak Boeing ikut bertanggung jawab atas keluarga korban kecelakaan pesawat jenis Boeing 737 Max.

"Terutama keluarga korban yang wafatlah disantunilah, lalu tanpa pihak ketiga atau pengacara, mohon ini juga difasilitasi Pemerintah Indonesia," kata Rezasyah.

Selain itu, dari permintaan maaf Boeing juga, ia menilai perlunya konsesi dari pihak Boeing untuk pelatihan lebih lanjut dalam penggunaan Boeing 737 Max 8. Sebab, hingga kini belum ada pelatihan lebih lanjut dari pihak Boeing atas jenis pesawat tersebut.

Namun demikian, Rezasyah tetap mengapresiasi permintaan maaf dari pihak Boeing sebagai bentuk profesionalisme sebagai perusahaan besar yang melakukan kesalaham.

"Itu kita harus menghargai, itu bentuk gentle, banyak perusahaan yang menutup-nutupi karena mereka khawatir rugi kontrak atau pemesaan batal," kata dia.

Sebelumnya, Chief Executive Officer (CEO) Boeing Co Dennis Muilenburg meminta maaf kepada keluarga korban atas kecelakaan fatal yang menimpa Ethiopian Airlines dan Lion Air. Dia berjanji akan segera merilis piranti lunak (software)untuk sistem manuver pesawat.

"Kami meminta maaf atas nyawa yang hilang dalam kecelakan 737 belum lama ini. Kami tetap fokus pada keselamatan penumpang dan memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak pernah terjadi lagi," ujar Muilenburg dalam sebuah rekaman video yang diunggah di akun Twitter @BoeingAirplanes, Kamis (5/4).

Muilenburg mengatakan, detail mengenai apa yang terjadi dalam kecelakan Ethiopian Airlines ET302 dan Lion Air JT610 akan diumumkan oleh otoritas pemerintah dalam laporan final. "Namun dengan adanya laporan awal dari investigasi kecelakaan Ethiopian Airlines, Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver (MCAS) di kedua penerbangan diaktivasi sebagai respons terhadap informasi angle of attackyang salah," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement