Sabtu 06 Apr 2019 06:03 WIB

Ekspresi tak Berdosa Teroris di Christchurch

Teroris di Christchurch ini tak menunjukkan emosi selama persidangan.

Rep: Rossi Handayani, Lintar Satria/ Red: Elba Damhuri
Teror Masjid Christchurch. Brenton Tarrant (wajahnya disamarkan) tampil di sidang atas pembunuhan massal di dua masjid di Christchurch, Ahad (16/3).
Foto: EPA
Teror Masjid Christchurch. Brenton Tarrant (wajahnya disamarkan) tampil di sidang atas pembunuhan massal di dua masjid di Christchurch, Ahad (16/3).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Kerabat korban penembakan di Christchurch, Selandia Baru, ramai-ramai mendatangi Pengadilan Tinggi Christchurch, Jumat (5/4). Mereka ingin melihat secara langsung wajah sang teroris, Brendon Tarrant, yang begitu keji menembaki jamaah di dua masjid pada pertengahan Maret lalu.

Tarrant tak dihadirkan secara langsung dalam persidangan. Namun, wajah warga Australia itu ditampilkan melalui tautan video dari penjara Auckland dan bisa dilihat oleh semua yang hadir dalam persidangan melalui layar besar.

Baca Juga

Tarrant pun dapat melihat pengacaranya serta mendengarkan dengan baik jalannya persidangan. Namun, sang teroris tak bisa melihat publik yang datang ke persidangan. Saat menjalani proses persidangan melalui tautan video, Tarrant tampak mengenakan borgol dan sweter abu-abu.

Penganut garis politik ekstrem kanan itu memelihara janggut pendek dan tidak menunjukkan emosi selama persidangan. Wajahnya tetap menampilkan mimik dingin.

Terkadang ia melihat sekeliling ruangan atau memiringkan kepala untuk mendengarkan apa yang disampaikan. Terdakwa hanya berbicara sekali untuk mengonfirmasi bahwa ia duduk meskipun suaranya tidak terdengar.

Ada sekitar 50 kerabat korban. Korban-korban selamat turut hadir di ruang persidangan. Beberapa di antara mereka ada yang menggunakan kursi roda dan masih mengenakan baju rumah sakit karena belum pulih dari luka tembak.

Korban selamat bernama Tofazzal Alam begitu murka ketika melihat wajah dan ekspresi Tarrant. Alam merupakan salah satu jamaah shalat Jumat di Masjid Linwood saat terjadi penembakan.

"Dia (Brenton Tarrant) membunuh 50 orang dan dia seperti tidak terlihat terganggu (dengan perbuatannya--Red). Saya tidak melihat ada ekspresi di wajahnya," kata Alam seperti dilansir laman Radio New Zealand, Jumat (5/4).

Alam mengungkapkan, setelah peristiwa penembakan terjadi, ia sangat takut untuk pergi ke luar rumah. Ia pun trauma jika melihat orang asing.

Namun, kemarin ia mencoba melawan rasa traumanya untuk pergi ke pengadilan. Ia ingin melihat Tarrant dengan matanya sendiri.

Saat peristiwa penembakan, Alam sama sekali tak bisa melihat wajah si pembunuh. "Kala itu, saya hanya berbaring di lantai. Jadi, saya ingin sekali melihat bagaimana perasaannya setelah membunuh 50 orang yang tak bersalah," ungkapnya.

Shahid Tanveer Mohammed yang saudaranya terbunuh dalam aksi penembakan Tarrant meniatkan diri melakukan perjalanan dari New York, Amerika Serikat, untuk menghadiri proses pengadilan. Namun, ia merasa kecewa terhadap keputusan hakim yang memutuskan untuk terlebih dahulu melakukan pemeriksaan mental kepada Tarrant.

"Saya tidak puas dengan hasil persidangan. Mengapa tes kesehatan mental harus sampai memakan waktu dua bulan," kata dia.

Ruang persidangan Tarrant juga dipenuhi wartawan dan masyarakat umum. Panitera pengadilan menyambut orang-orang dalam bahasa Arab dan Inggris saat sidang berlangsung. Beberapa dari mereka yang menonton menjadi emosional dan menangis.

Kesehatan mental teroris

Hakim Pengadilan Tinggi Christhurch Cameron Mander mengatakan, terdakwa akan diperiksa terlebih dahulu oleh ahli untuk menentukan apakah ia layak diadili atau tidak.

Menurut Mander, setidaknya ada dua pemeriksaan yang akan dilakukan untuk menentukan kondisi kesehatan mental Tarrant. Sidang pengadilan berikutnya dijadwalkan pada 14 Juni

Tarrant didakwa dengan 50 tuduhan pembunuhan dan 39 tuduhan percobaan pembunuhan. Dalam serangan 15 Maret 2019, 42 orang tewas di Masjid an-Noor, tujuh orang tewas di Masjid Linwood, dan satu orang lagi meninggal pada kemudian hari.

Pemimpin Buddha asal Tibet, Dalai Lama, memberi pujian terhadap Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Hal itu secara khusus ditujukan terhadap sikap Ardern dalam menghadapi insiden penembakan brutal.

Menurut Dalai Lama, respons Ardern dalam menghadapi insiden yang terjadi di negaranya merupakan sebuah contoh bagaimana kekerasan tidaklah diperlukan. Ia mengatakan, sikap dari perempuan berusia 38 tahun itu bekerja secara efektif dan menjadi solusi terbaik dalam kasus teror tersebut.

Ardern telah dipuji secara luas atas sikap bijaksananya. Ia berusaha meyakinkan warga Muslim yang menjadi minoritas di Selandia Baru sekaligus korban dalam insiden tersebut bahwa mereka tidak sendiri.

Ardern juga secara tegas menyebut bahwa penembakan tersebut merupakan sebuah aksi terorisme. Pujian dari masyarakat internasional berdatangan, khususnya dari komunitas Muslim di seluruh dunia.

Mengacu pada sikap Ardern, Dalai Lama tampaknya ingin memberi contoh bahwa kekerasan dapat dilawan dengan kebaikan, seperti dia yang terus berupaya menemukan solusi atas konflik antara Tibet dan Cina.

(puti almas ed: satria kartika yudha)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement