REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Keluarga korban penumpang Ethiopian Airlines, mengajukan beragam pertanyaan kepada pembuat pesawat Amerika Serikat (AS), Boeing. Mereka menyalahkan Boeing karena tidak belajar dari peristiwa mematikan sebelumnya.
Salah satu keluarga korban, Konjit Shafi telah mendengarkan konferensi pers menteri transportasi Ethiopia secara langsung. Ia bertanya-tanya mengapa mereka tidak belajar dari bencana serupa yang terjadi di Indonesia. "Boeing, mereka sudah mengetahui masalahnya," kata Shafi dilansir dari laman Channel News Asia, Sabtu (6/4).
Pertanyaannya merujuk pada sistem anti-stall otomatis dalam model MAX. Sistem tersebut menjatuhkan pesawat ke bawah dalam kedua kasus karena sensor yang salah. "Jika mereka dapat mengumumkan masalah tersebut kepada maskapai terlebih dahulu, kecelakaan itu mungkin tidak akan terjadi," katanya di ibukota Ethiopia, Addis Ababa.
Meskipun tugas penyelidik Ethiopia bukanlah untuk menemukan kesalahan, mereka secara implisit meminta Boeing agar memperbaiki sistem yang salah. Boeing telah menyatakan belasungkawa, dan berjanji untuk memperbaiki perangkat lunak yang menjadi penyebab jatuhnya pesawat.
Penerbangan Ethiopian Airlines 302 telat berangkat, pukul 08:38 pagi dan kontak terputus enam menit kemudian. Pesawat jatuh di dataran berdebu dengan kekuatan kencang sehingga banyak puing-puing terkubur di tanah kering.
Di antara mereka yang berada di dalam pesawat, yakni tiga generasi dari satu keluarga Kenya. Seorang nenek Anne Wangui Karanja, putrinya, dan tiga cucunya yang masih muda.
"Dari laporan itu, kami kumpulkan bahwa pabriknya yang menjadi masalah," kata Quindos Karanja, yang kehilangan ibu, saudara perempuan, dan para keponakannya.
"Kemarahan saya datang karena mereka (Boeing) mendahulukan keuntungan dibanding nyawa," lajut Karanja.
Keluarga tersebut telah membaca laporan kecelakaan secara online setelah dipublikasikan. Mereka juga mengikuti liputan berita dengan bantuan sejumlah pengacara.