REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim mengapresiasi pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang batal mengeluarkan izin impor bawang putih. Menurut Anton, pembatalan tersebut bisa dimanfaatkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) untuk meningkatkan produktivitas di dalam negeri.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017, para importir dikenakan kewajiban tanam sebanyak lima persen dari kuota impor yang diterima. Mengacu pada hal itu, dia menilai pemerintah perlu menjadikan momentum pembatalan izin impor sebagai peluang bagi para petani untuk terus berproduksi.
“Sekarang tinggal direalisasikan saja peraturan itu, apa benar kita ini punya komitmen untuk memberdayakan petani kita,” kata Anton saat dihubungi Republika.co.id, Senin (8/4).
Terlebih, kata dia, saat ini Kementan tengah menjalankan program ketahanan dan kemandirian pangan yang berorientasi ekspor. Meski dia mengakui secara faktual Indonesia belum dapat swasembada bawang putih, kendati demikian peluang tersebut dinilai masih ada. Apalagi, di masa Orde Baru Indonesia pernah mengalami swasembada bawang putih.
Bila wacana pemabatalan izin impor tersebut terealisasi, kata dia, program wajib tanam sebesar lima persen oleh importir bisa dimaksimalkan guna mencapai target pemerintah yang ingin swasembada pangan pada 2045.
Selanjutnya, dia menekankan kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk memperhatikan ketersediaan pasokan di pasar. Hal itu selain dapat memastikan harga terjaga, juga dapat beriringan dengan program yang dijalankan oleh kementerian lain. Anton berkesimpulan, saat ini koordinasi antarkementerian belum solid sehingga kepastian realisasi suatu kebijakan dengan kebijakan lain kerap tumpang tindih.
“Di sisi lain Kementan sedang tingkatkan produksi, kementerian lain terbitkan kebijakan impor. Jadi tidak seimbang,” katanya.
Anton berharap, pembatalan izin impor bawang putih dilakukan secara permanen dan tidak disangkutpautkan dengan helatan pemilihan umum (pemilu). Menurutnya, apabila Pemilu 2019 telah terlaksana dan pemerintah menerbitkan izin impor tanpa melihat peluang produksi oleh petani, hal itu sama saja tidak berkomitmen pada cita-cita meningkatkan ketahanan pangan.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Tjahya Widayanti menjelaskan, saat ini stok bawang putih di dalam negeri berjumlah 115.776 ton. Jumlah tersebut dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar hingga tiga bulan ke depan. Tjahya menyebutkan, stok bawang putih yang tersedia merupakan sisa stok importasi tahun lalu yang realisasinya mencapai 571.576 ton.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 tingkat konsumsi masyarakat terhadap bawang putih mencapai 1,72 kilogram (kg) per kapita per tahun. Jumlah tersebut setara dengan 455.800 ton konsumsi. Dengan angka konsumsi tersebut, dia mengkalkulasi, maka untuk satu bulan periode pertama Ramadhan bila ada peningkatan kebutuhan sebesar 30 persen, maka kebutuhan akan mencapai 49 ribu ton.
“Artinya kebutuhan akan tercukupi dengan stok yang ada,” kata Tjahya saat dihubungi Republika, Senin.
Mengacu data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga bawang putih berkisar Rp 35.650-Rp 53.350 per kg. Sedangkan rata-rata harga komoditas tersebut secara nasional berada di level Rp 45.750 per kg. Menurut Tjahya, jika importasi terlaksana, efeknya akan menurunkan harga komoditas tersebut di pasaran.
Menurutnya, persetujuan izin impor bawang putih kepada importir oleh Kemendag diterbitkan setelah mendapat rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementan. Sejauh ini, kata dia, telah ada empat importir yang telah mendatkan RIPH dari Kementan.