REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 dipaksa menandatangani surat release and discharge atau pembebasan dari seluruh tuntutan hukum jika ingin mendapatkan uang ganti rugi. Akan tetapi syarat tersebut sangat merugikan pihak korban.
Merdian Agustina, istri dari korban meninggal Eka Suganda, berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Dia memiliki tiga putra yang masih memerlukan biaya. Merdain mewakili keluarga-keluarga korban lain untuk menuntut keadilan dari pihak Lion Air dan Boeing.
Ia mengatakan beberapa waktu yang lalu pihak Lion Air memaksanya untuk menandatangi surat release and discharge jika ingin mendapatkan kompensasi. Namun menurutnya isi surat tersebut berat sebelah dan seolah - olah pernyataan hanya dari pihak keluarga korban, tidak dari kedua belah pihak.
"Awalnya saya tidak ingin menuntut pihak maskapai namun begitu dihadapkan dengan isi surat yang menurut sangat keterlaluan. Surat itu syarat mutlak jika ingin mendapatkan kompensasi. Pernyataan dalam surat tersebut seperti pernyataan dari pihak kita saja," ujarnya kepada wartawan dalam konferensi pers di Restoran Penang Bistro Oakwood, Kawasan Mega Kuningan, Senin (8/4).
Ia mengatakan frustrasi dan lelah karena sudah enam bulan kejadian tersebut berlalu namun pihak maskapai tidak memberikan kejelasan hak-hak dari para korban. "Suami saya telah menjadi korban namun tanggung jawab dari maskapai tidak ada dan selalu mengulur-ulur," ujar Merdian sambil meneteskan air mata.
Ia meminta pihak maskapai segera memberikan hak-hak korban tanpa ada persyaratan apa pun. "Seberapapun ganti rugi yang akan mereka berikan tidak akan bisa disamakan dengan suami saya. Namun mereka menyamakan suami saya dan korban yang lain seperti bagasi. Kami sudah kehilangan orang yang kami cintai namun masih dipersulit," ungkapnya.
Kuasa hukum keluarga korban, Harry Ponto, mengatakan perihal ganti rugi kecelakaan pesawat terbang telah diatur dalam Undang-undang tentang Penerbangan Nomor 1 tahun 2009 pasal 1. Aturan itu menyatakan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian korban yang meninggal dunia, cacat tetap, dan luka-luka yang terjadi dalam pesawat.
Pasal 2 berbunyi apabila kerugian yang dimaksudkan dalam pasal 1 timbul karena sengaja atau kesalahan dari pengangkut maka harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat menggunakan ketentuan dalam undang - undang ini untuk membatasi tanggung jawab.
Pasal 3 ahli waris dan korban sebagai akibat dari pengangkut udara sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 2 dapat menuntut ke pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi tambahan selain ganti rugi yang ditetapkan. Berdasarkan Permenhub nomor 77 tahun 2011 korban dan ahli waris akan mendapatkan kompensasi sebesar Rp 1 miliar 250 juta. "Ganti rugi kepada korban kecelakaan sudah diatur oleh UU jadi tidak perlu diulur-ulur segera berikan saja," ungkap Harry.