REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak awal dekade 1860, Sayyid Ahmad Khan semakin mencurahkan perhatian terhadap modernisme Islam. Pada 1863, dia mendirikan Majelis Sains di Aligarh, Uttar Pradesh, India, untuk memacu minat generasi muda Muslim terhadap ilmu pengetahuan Barat.
Tiga tahun berikutnya, lembaga ini membuka biro penerbitan bernama Institut Aligarh. Atas jasa-jasanya mempromosikan kemajuan, satu tahun kemudian dia diangkat menjadi anggota kehormatan Royal Asiatic Society yang berbasis di London, Inggris.
Lima tahun kemudian, dia diberangkatkan ke Negeri Albion untuk menyaksikan langsung bagaimana perkembangan masyarakat di sana. Pada 1870, dia tiba di India dengan komitmen yang semakin kuat untuk memajukan umat Islam setempat melalui cara-cara yang modern.
Pada awalnya, niat baik Sayyid Ahmad Khan tidak disambut hangat para ulama lokal. Mereka menudingnya sebagai antek Inggris. Tuduhan semacam ini sebenarnya tak mendasar. Ketika konflik Sepoy terjadi, misalnya, dia semata-mata bertindak atas nama kemanusiaan.
Sebanyak 20 orang Inggris berhasil diselamatkannya di tengah situasi penuh risiko. Rumahnya habis dibakar, sedangkan dirinya sendiri menerima ancaman pembunuhan. Setelah keadaan kembali tenang, dia menulis buku Asbâb-e Baghâwat-e Hind yang isinya mengkritik kebijakan Inggris sebagai penyebab meletusnya pemberontakan Sepoy.
Bagi beberapa kalangan, kitab ini menjadi suatu bukti bahwa kedekatannya dengan Inggris tidak sampai pada taraf afinitas. Namun, kubu yang berseberangan menilai karyanya yang lain, Risâlah Khair Khawahân Musalmanân (Uraian tentang Umat Islam yang Loyal di India), menunjukkan keberpihakan sang sayyid pada kekuasaan Inggris di Anak Benua India.
Untuk menghadapi para penentangnya, Sayyid Ahmad Khan menerbitkan Tadzabul Akhlaq sebagai ruang berbagi gagasan. Dalam edisi bahasa Inggris, majalah tersebut berjudul Mohammedan Social Reformer. Beberapa tahun berikutnya, impian besar Sayyid Ahmad Khan terwujud.
Pada 1875, dia mendirikan Madarsatul Uloom di Aligarh. Lembaga ini lantas berkembang menjadi kampus Muhammadan Anglo-Oriental (MAO) College. Sesuai dengan namanya, lembaga pendidikan tinggi ini berupaya memadukan sistem pendidikan modern dengan nilai-nilai Islam. Model kurikulumnya sebagian mengacu pada Oxford University dan Cambridge University.