REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih terkait kemajuan umat Islam, Sayyid Ahmad Khan menandaskan tidak ada pertentangan yang mendasar antara kemajuan sains dan ajaran Islam. Justru agama ini mendorong para pemeluknya agar menyelidiki keteraturan semesta serta hukum-hukum alam yang berlaku di baliknya.
Dalam Alquran, Allah menegaskan ketinggian derajat kaum berilmu daripada yang tidak berilmu. Lebih-lebih sejak abad ke-20, umat agama ini tertinggal dalam pelbagai bidang kehidupan lantaran tidak segiat peradaban Barat dalam mencari ilmu-ilmu dunia. Ahmad Khan mengecam sikap jumud segelintir Muslim yang menyebabkan mereka malas.
Mereka lebih suka menjadi penonton, alih-alih ikut berkontribusi pada kemajuan. Pada akhirnya, mereka pasrah, fatalis, akan situasi terpuruknya Islam di kancah dunia modern.
Kritik terhadap Barat
Sayyid Ahmad Khan tidak setuju dengan kebudayaan Barat yang terlampau mengagungkan kebebasan manusia sehingga mengabaikan keberadaan Sang Pencipta. Namun, dia juga menyayangkan sikap segelintir Muslimin yang memandang curiga kebebasan manusia sehingga lebih suka bersandar pada “takdir”.
Fatalisme merupakan salah satu kendala untuk mengangkat derajat masyarakat. Bukankah dalam Kitabullah sudah ditegaskan, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bilamana kaum itu tidak berupaya? Seringkali, perilaku jumud yang menghinggapi mereka justru bertolak belakang dengan esensi agama ini.
Lebih lanjut, Sayyid Ahmad Khan juga tidak melihat adanya manfaat dari fenomena takfiri. Pangkal persoalannya, menurut dia, para ulama tradisional banyak yang antipati terhadap kemajuan sains dan teknologi modern. Pada titik paling ekstrem, mereka mengecap teknologi sebagai produk budaya kafir, sehingga mengikutinya sama saja menjadi kafir.
Inilah yang menjelaskan masih bnya anyak anak-anak Muslim yang tidak disekolahkan pada lembaga-lembaga pendidikan bentukan Inggris di India. Di saat yang sama, kaum Hindu menerima dengan tangan terbuka kesempatan mengenyam pendidikan Barat. Akhirnya, posisi-posisi strategis di birokrasi ditempati kaum non-Muslim, sementara umat Islam stagnan, jalan di tempat.
Lebih lanjut, Sayyid Ahmad Khan memberi penafsiran bagi ajaran-ajaran Islam sehingga kontekstual untuk dunia modern. Misalnya, terkait masalah perbudakan. Bagi Ahmad Khan, sistem itu jelas-jelas eksploitasi manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l'homme).
Dalam sejarah Islam, Alquran telah memberi aturan yang berbeda soal perbudakan, yakni ketika Nabi SAW masih di Makkah dan sesudah hijrahnya. Sejak pembebasan Makkah, menurutnya, perbudakan tidak diperbolehkan lagi. Apalagi, dalam haji perpisahan Rasulullah SAW sudah menegaskan bahwa tidak ada keunggulan seseorang/suatu kaum atas pihak lainnya, kecuali terkait ketakwaannya terhadap Allah.
Kemudian, Sayyid Ahmad Khan juga menegaskan posisi ajaran Islam terhadap poligami. Menurutnya, Islam menganjurkan agar seorang laki-laki Muslim menikah dengan satu orang perempuan. Poligami sama sekali tidak dianjurkan. Ia hanya dibolehkan pada sejumlah kasus tertentu.
Dengan modernisme Islam, Sayyid Ahmad Khan mengecam keyakinan segelintir Muslimin yang cenderung menaruh taklid buta. Dia menyayangkan kerasnya hati mereka yang masih mengikuti cara-cara generasi lampau dalam memahami hukum Islam. Padahal, setiap zaman memiliki persoalan-persoalan yang belum tentu sama berlakunya untuk zaman sekarang.
Karena itu, dia menganjurkan metode ijtihad yang memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan modern sebagai salah satu alatnya. Satu hal yang pasti, kandungan Alquran dan Sunnah bersifat selalu tetap, melintasi zaman, serta harus menjadi acuan yang paling utama.