REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (PPPRSI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 23 Tahun 2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Dengan nomor perkara 28 P/HUM/2019 pada 12 Maret 2019 lalu.
Sekretaris Umum PPPRSI Danang Surya Winata mengatakan, kendati tak mengajukan gugatan atas Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik, berdasarkan konstruksi hukumnya pergub juga bisa gugur.
"Pergubnya tidak, kita gugat permennya karena satu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun) itu //kan// mensyaratkan, belum ada permennya. Sehingga tata urutan itu harus dilengkapi dulu," ujar Danang saat dihubungi Republika, Senin (8/4).
Ia menjelaskan, UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rusun mengamanatkan diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) terlebih dahulu, bukan langsung menerbitkan permen, apalagi pergub. Itulah yuridis formal PPPRSI mengajukan gugatan ke MA.
Sementara, Danang mengatakan, secara materi, beberapa hal di dalam permen tidak sesuai. Pertama, mengenai hak suara. Menurut dia, berdasarkan undang-undang hak suara hanya mengenal nilai perbandingan proposional (NPP) dan one man one vote.
Namun, kata dia, one man one vote dalam permen diartikan bahwa seorang pemilik memiliki hak satu suara. Sedangkan, ia mempertanyakan hal itu karena dalam praktiknya pemilik apartemen maupun rusun memiliki dua unit ataupun lebih, tetapi tetap dihitung satu.
Selain itu, ia melanjutkan, materi lain yang diujikan yakni mengenai pemberian kuasa yang terbatas hanya kepada keluarga. Sedangkan, pada umumnya, kata dia, Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata, kuasa bebas diberikan kepada siapa selama penerima kuasa ada orang yang cukup umur.
Danang mengatakan, terbitnya permen dan pergub itu tak terpaut waktu yang cukup lama hanya rentang tiga bulan. Padahal, kata dia, seharusnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI terlebih dahulu mengkaji Permen PUPR Nomor 23/2018 sebelum menerbitkan pergub.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Bambang Setiawan mengatakan, ada beberapa faktor yang menghambat pengimplementasian Pergub oleh PPPSRS. Misalnya, Aperssi menemukan banyak perizinan rumah susun yang belum tuntas.
Sehingga, karena izin yang belum selesai tersebut, pihak PPPSRS pun merasa tidak perlu menyesuaikan dengan pergub karena terhambat persyaratan perizinan tersebut. Di antaranya untuk menyesuaikan struktur organisasi serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).
"Jadi, mereka masih bingung dalam kondisi seperti itu bagaimana kedudukan mereka karena kan dalam Pergub ini disyaratkan itu sudah harus terpenuhi semua," kata Bambang saat dihubungi Republika, Senin.
Kedua, lanjut Bambang, masih banyak yang belum mengetahui mengenai Pergub 132/2018. Sehingga, banyak pengurus PPPSRS yang tidak mengetahui bahwa pengurus yang ada harus mengadakan rapat umum anggota luar biasa (RUALB) seperti yang diamanatkan dalam pasal 103.
Ketiga, Bambang juga menyebut, ada pembangkangan dari PPPSRS. Menurut dia, mereka membangkang karena khawatir dengan berlakunya pergub akan mengurangi atau memperkecil peluang untuk menjadikannya pengurus.
Sementara itu, Kepala Bidang Pembinaan dan Peran Serta Masyarakat Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) DKI Jakarta Melly Budiastuti menjelaskan, pembentukan Pergub 132/2018 sudah dicanangkan sejak 2016. Untuk mengisi kekosongan hukum tentang peraturan rumah susun.
Proses pembentukannya, kata dia, diawali dengan melaksanakan forum diskusi terpumpun (focus group discussion/FGD) dengan melibatkan sejumlah asosiasi persatuan perhimpunan rumah susun, pengembang, dan pengelola. Yang dia ingat, di antaranya Dewan Pengurus Pusat (DPP) dan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI).
Selain itu, Melly menyebut, pihaknya juga mengundang Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), PPPSRI, Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi), Kesatuan Aksi Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Indonesia (Kapri), Ombudsman, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
"Dari tahun 2016 itu, pergub kita zaman Soni Sumarsono sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur DKI, kita membuka FGD pertama karena apa, permasalahan di DKI ini sangat kompleks, ada kekosongan hukum, dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011," kata Melly di gedung DPRD DKI Jakarta, Senin.
Ia pun mengatakan, memang seharusnya terbit PP sesuai amanat Pasal 119 UU No 23/2011. Peraturan perundangan-undangan yang diamanatkan harus diselesaikan paling lambat satu tahun sejak diterbitkan yakni pada 10 November 2012 lalu. Namun, hingga saat ini peraturan yang dimaksud belum juga tersedia.
Sehingga, kata Melly, ada kekosongan peraturan mengenai rumah susun sedangkan laporan permasalahan yang timbul pascahuni semakin meningkat. Diiringi pertumbuhan rumah susun maupun apartemen yang juga bertambah di DKI Jakarta.
Ia menambahkan, Pergub 132/2018 juga berdasarkan PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rusun. PP yang juga mengacu pada UU 16/1985. Menurut dia, kedua peraturan sebelumnya tentang rumah susun itu tak bertentangan dengan UU 20/2011.
"Oleh karena itu, PP Nomor 4 Tahun 1988 sepanjang tidak bertentangan itu masih diadopsi oleh kami, masih berlaku, karena sesuai amanat pasal 118 tersebut," kata Melly.
Ia juga mengatakan, dari 195 PPPSRS yang berbadan hukum, baru 53 yang mulai mengimplementasikan pergub. Menurut dia, ada beberapa hambatan seperti para pengurus yang juga sibuk dalam pemilihan umum (pemilu).