Selasa 09 Apr 2019 07:19 WIB

Korban Kebakaran Kolong Tol Pluit Terabaikan

BPTJ akan diskusikan dengan Pemprov DKI untuk mencarikan solusinya.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah warga membongkar bangunannya sendiri jelang penggusuran pemukiman liar di kolong Jalan Tol Pluit-Tomang di kawasan Teluk Intan, Jakarta Utara, Rabu (2/3).
Foto: Antara/Reno Esnir
Sejumlah warga membongkar bangunannya sendiri jelang penggusuran pemukiman liar di kolong Jalan Tol Pluit-Tomang di kawasan Teluk Intan, Jakarta Utara, Rabu (2/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Permukiman kumuh di kolong Tol Pluit, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, habis dilahap si jago merah pada 30 Maret lalu. Namun, hingga saat ini para korban kebakaran masih mengungsi di tempat yang sama dengan tenda seadanya.

Berdasarkan pantauan Republika pada akhir pekan lalu, jalanan di kolong Tol Pluit penuh dengan tanah dan genangan. Bebek dan ayam bersatu memenuhi area ini. Lalat dan nyamuk beterbangan sepanjang area ini. Sampah dan barang bekas berserakan dekat dengan permukiman penduduk.

Tidak hanya itu, garis polisi masih membatasi area rumah yang terbakar. Tripleks, kayu, dan benda lainnya masih berwarna hitam dan dibiarkan begitu saja. Bahkan, para warga nyaman untuk tetap memasak dan bercengkerama di dekat lingkungan yang sanitasinya tidak bersih.

Anak-anak pun belajar dan bermain menikmati area tempat tinggal mereka di bawah kolong tol yang setiap saat terdengar suara kendaraan mobil dan truk yang melintas di atasnya.

Lurah Pejagalan, Jakarta Utara, Ichsan Firdaosyi, mengatakan, kolong Tol Pluit merupakan tanggung jawab pengelola pihak PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) Tbk. Sebab, lahan di atas maupun di bawah jalan tol tersebut sudah dibeli pihak CMNP.

“Pihak CMNP bersama wali kota Jakarta Utara sudah rapat kemarin, Senin (1/4). Tapi yang datang dari pihak CMNP hanya perwakilannya saja. Jadi, tidak bisa memutuskan solusi hari itu juga. Ya cuma bisa berdiskusi tanpa jalan keluar,” kata Ichsan akhir pekan lalu.

Ichsan mengaku sudah usulkan program untuk kolong Tol Pluit agar dibangun tempat kuliner atau Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Namun, sampai sekarang belum ada keputusan dari pihak CMNP. Ia merasa serbasalah untuk menindaklanjuti permukiman yang ada di kolong tol tersebut.

Menurut dia, semua pengawasan dan penertiban ditanggung oleh pihak CMNP. Sebab, jika pihaknya ikut campur khawatir tidak sesuai keinginan pihak CMNP. “Ya bisa saja saya rapihkan semuanya, tapi nanti keenakan pihak CMNP-nya. Toh, semua di bawah kelola mereka,” ujar dia.

Ichsan menambahkan, Tol Pluit ini sudah ada sejak 1998. Dari CMNP pasti ada pihak keamanan yang mengawasi tol tersebut. Kemudian, luas lahan rumah warga yang terdampak kebakaran sebesar 30 kali 150 meter. Dengan jumlah 117 kartu keluarga (KK) serta 315 warga. Mereka semua saat ini masih mengungsi di kolong Tol Pluit.

Ichsan berharap pihak CMNP bisa bersurat kepada pihak kelurahan dan diskusi bersama untuk program jangka panjang kolong Tol Pluit ini. “Anggaran kelurahan terbatas, yang punya tanahnya CMNP. Tinggal komunikasi maunya apa, pasti kami bantu. Ya kalau diam-diam saja tidak ada jalan keluarnya untuk ke depannya,” ujar dia.

Salah satu warga, Jayadi (43 tahun), mengatakan, saat terjadi kebakaran ia hanya menyelamatkan diri beserta cucu laki-lakinya yang masih berumur tiga tahun. Jayadi mengaku terpaksa tinggal di kolong Tol Pluit. Sebab, ia tidak punya uang untuk mengontrak rumah yang lebih layak. Apalagi, ia berasal dari daerah Majalengka, Jawa Barat.

Ia hanya bekerja serabutan di Jakarta yang pendapatannya tidak menentu. Jayadi sudah 15 tahun lebih tinggal di kolong Tol Pluit. Hasil pendapatannya sebagai pekerja serabutan bisa menyekolahkan anaknya sampai sekolah menengah atas (SMA).

“Ya saya sekarang kerjanya ambil botol-botol Aqua dan barang bekas lainnya. Tidak menentu pendapatannya. Paling sehari Rp 60 ribu atau pernah juga dapat Rp 20 ribu yang penting halal,” tutur Jayadi.

Jayadi pun masih bingung ke depannya akan tinggal di mana. Sebab, ia sama sekali tidak punya uang. “Sudah seminggu kayak gini tidak ada kemajuan apa-apa. Kalau hujan ini banjir. Kami jongkok tidak tidur. Saya berharap saja pemerintah memikirkan rakyat kayak kami. Biar ada solusinya seperti apa,” ungkap dia.

Hal senada disampaikan warga lainnya, Linda (45 tahun). Linda pun mengeluhkan sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) juga terbatas serta untuk memakainya harus bayar sebesar Rp 2.000. “Setiap hari bayar, mau gimana lagi. Tolong pemerintah memikirkan rakyat kecil. Sudah seminggu begini,” kata Linda.

Sementara itu, Ketua Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengatakan, pada dasarnya memang tidak boleh adanya permukiman di kolong Tol Pluit. Harus ada pengawasan yang bertindak tegas untuk menertibkan warga di kolong Tol Pluit ini.

“Nanti saya diskusikan dengan Pemprov DKI Jakarta untuk solusi ke depannya. Di kolong Tol Pluit itu kan juga sering terjadi kebakaran, itu berpengaruh dengan bahan bangunan tol yang akibatnya bisa fatal,” kata Bambang, Senin (8/4).

Bambang menambahkan, adanya lahan kosong yang tidak terawat dapat mengundang warga membangun apa pun. Bahkan, menguasai lahan tersebut untuk digunakan permukiman warga.

Maka dari itu, kata dia, pengamanan dan pengawasan harus lebih ditingkatkan lagi. Sehingga, warga tidak seenaknya bangun rumah di kolong Tol Pluit. "Banyak daerah kumuh di DKI Jakarta, ya kalau gini Pemprov DKI Jakarta harus jeli,” ujar dia.

Kemudian, kolong Tol Pluit ini harusnya dimanfaatkan untuk kebutuhan ruang publik. Seperti taman kota atau taman bermain. Sehingga, warga bisa bersantai dan berkumpul dengan keluarga.

Menurut dia, kolong Tol Pluit ini kewenangan Pemimpin Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sedangkan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) Tbk hanya badan pengelola Jalan Tol Pluit.

Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, mengatakan, operator dengan Pemprov DKI Jakarta harus bekerja sama untuk menertibkan permukiman kumuh di kolong Tol Pluit. “Ini merupakan ‘lagu lama’ yang tidak ada solusinya. Banyak kelompok marginal, urbanisasi yang datang ke perkotaan dan singgah di situ karena tidak mampu membeli tempat tinggal layak,” kata Yayat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement